Jumat, 23 Maret 2012

SISTEM KEUANGAN NEGARA DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2003 TENTANG KEUANGAN NEGARA Posted: Juli 7, 2011 in Katanya, Pernah bikin Tag:Dizto De Niro, hukum keuangan 2 UMUM Pemerintah secara langsung atau tidak memegang kekuasaan pengelolaan keuangan negara sebagai bagian dari kekuasaan pemerintahan. Semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu, baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubungan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut1.Kekuasaan tersebut meliputi kewenangan yang bersifat umum dan kewenangan yang bersifat khusus. Untuk membantu Presiden dalam penyelenggaraan kekuasaan dimaksud, sebagian dari kekuasaan tersebut dikuasakan kepada Menteri Keuangan selaku Pengelola Fiskal dan Wakil Pemerintah dalam kepemilikan kekayaan negara yang dipisahkan, serta kepada Menteri/Pimpinan Lembaga selaku Pengguna Anggaran/Pengguna Barang kementerian negara/lembaga yang dipimpinnya. Sesuai dengan semangat desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan negara sebagian kekuasaan Presiden tersebut diserahkan kepada Gubernur/Bupati/Walikota selaku pengelola keuangan daerah. Demikian pula untuk mencapai kestabilan nilai rupiah tugas menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter serta mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran dilakukan oleh bank sentral. Maka dalam penyusunan dan penetapan APBN dan APBD terlihat ketentuan mengenai penyusunan dan penetapan APBN/APBD dalam undang-undang ini meliputi penegasan tujuan dan fungsi penganggaran pemerintah, penegasan peran DPR/DPRD dan pemerintah dalam proses penyusunan dan penetapan anggaran, pengintegrasian sistem akuntabilitas kinerja dalam sistem penganggaran, penyempurnaan klasifikasi anggaran, penyatuan anggaran, dan penggunaan kerangka pengeluaran jangka menengah dalam penyusunan anggaran. Disini anggaran merupakan alat akuntabilitas, manajemen, dan kebijakan ekonomi. Sebagai instrumen kebijakan ekonomi anggaran berfungsi untuk mewujudkan pertumbuhan dan stabilitas perekonomian serta pemerataan pendapatan dalam rangka mencapai tujuan bernegara. Dalam upaya untuk meluruskan kembali tujuan dan fungsi anggaran tersebut perlu dilakukan pengaturan secara jelas peran DPR/DPRD dan pemerintah dalam proses penyusunan dan penetapan anggaran sebagai penjabaran aturan pokok yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang Dasar 1945. Sehubungan dalam proses belanja negara/belanja daerah dirinci sampai dengan unit organisasi, fungsi, program, kegiatan, dan jenis belanja. Hal tersebut berarti bahwa setiap pergeseran anggaran antarunit organisasi, antarkegiatan, dan antarjenis belanja harus mendapat persetujuan DPR/DPRD, yang mana hal inilah menimbulkan banyak problematika dalam penerapanya dan teknis dilapangan. Masalah lain yang tidak kalah pentingnya dalam upaya memperbaiki proses penganggaran di sektor publik adalah penerapan anggaran berbasis prestasi kerja. Mengingat bahwa sistem anggaran berbasis prestasi kerja /hasil memerlukan kriteria pengendalian kinerja dan evaluasi serta untuk menghindari duplikasi dalam penyusunan rencana kerja dan anggaran kementerian negara/lembaga/perangkat daerah, perlu dilakukan penyatuan sistem akuntabilitas kinerja dalam sistem penganggaran dengan memperkenalkan sistem penyusunan rencana kerja dan anggaran kementerian negara/lembaga/perangkat daerah. Sejalan dengan upaya untuk menerapkan secara penuh anggaran berbasis kinerja di sektor publik, perlu pula dilakukan perubahan klasifikasi anggaran agar sesuai dengan klasifikasi yang digunakan secara internasional. Perubahan dalam pengelompokan transaksi pemerintah tersebut dimaksudkan untuk memudahkan pelaksanaan anggaran berbasis kinerja, memberikan gambaran yang objektif dan proporsional mengenai kegiatan pemerintah, menjaga konsistensi dengan standar akuntansi sektor publik, serta memudahkan penyajian dan meningkatkan kredibilitas statistik keuangan pemerintah. Walaupun anggaran dapat disusun dengan baik, jika proses penetapannya terlambat akan berpotensi menimbulkan masalah dalam pelaksanaannya. Oleh karena itu, dalam undang-undang ini diatur secara jelas mekanisme pembahasan anggaran tersebut di DPR/DPRD, termasuk pembagian tugas antara panitia/komisi anggaran dan komisi-komisi pasangan kerja kementerian negara/lembaga/perangkat daerah di DPR/DPRD. Perlunya efektivitas sistem pengendalian intern pemerintah (SPIP) berupa peraturan-peraturan teknis yang harus tertib, menjadi tanggungjawab menteri/pimpinan lembaga/gubernur/bupati/walikota2. Munculnya permasalahan lagi dengan hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Bank Sentral, Pemerintah Daerah, Pemerintah/Lembaga Asing, Perusahaan Negara, Perusahaan Daerah, Perusahaan Swasta, serta Badan Pengelola Dana Masyarakat. Sejalan dengan semakin luas dan kompleksnya kegiatan pengelolaan keuangan negara, perlu diatur ketentuan mengenai hubungan keuangan antara pemerintah dan lembaga-lembaga infra/supranasional. Dalam hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan bank sentral ditegaskan bahwa pemerintah pusat dan bank sentral berkoordinasi dalam penetapan dan pelaksanaan kebijakan fiskal dan moneter. Dalam hubungan dengan pemerintah daerah, undang-undang ini menegaskan adanya kewajiban pemerintah pusat mengalokasikan dana perimbangan kepada pemerintah daerah. Selain itu, undang-undang ini mengatur pula perihal penerimaan pinjaman luar negeri pemerintah. Pemerintah dan perusahaan negara, perusahaan daerah, perusahaan swasta, dan badan pengelola dana masyarakat ditetapkan bahwa pemerintah dapat memberikan pinjaman/hibah/penyertaan modal kepada dan menerima pinjaman/hibah dari perusahaan negara/daerah setelah mendapat persetujuan DPR/DPRD. Bagaimana dengan Pelaksanaan APBN dan APBD, setelah APBN ditetapkan secara rinci dengan undang-undang, pelaksanaannya dituangkan lebih lanjut dengan keputusan Presiden sebagai pedoman bagi kementerian negara/lembaga dalam pelaksanaan anggaran. Penuangan dalam keputusan Presiden tersebut terutama menyangkut hal-hal yang belum dirinci di dalam undang-undang APBN, seperti alokasi anggaran untuk kantor pusat dan kantor daerah kementerian negara/lembaga, pembayaran gaji dalam belanja pegawai, dan pembayaran untuk tunggakan yang menjadi beban kementerian negara/lembaga. Selain itu, penuangan dimaksud meliputi pula alokasi dana perimbangan untuk provinsi/kabupaten/kota dan alokasi subsidi sesuai dengan keperluan perusahaan/badan yang menerima. Untuk memberikan informasi mengenai perkembangan pelaksanaan APBN/APBD, pemerintah pusat/pemerintah daerah perlu menyampaikan laporan realisasi semester pertama kepada DPR/DPRD pada akhir Juli tahun anggaran yang bersangkutan. Informasi yang disampaikan dalam laporan tersebut menjadi bahan evaluasi pelaksanaan APBN/APBD semester pertama dan penyesuaian/perubahan APBN/APBD pada semester berikutnya. Ketentuan mengenai pengelolaan keuangan negara dalam rangka pelaksanaan APBN/APBD ditetapkan tersendiri dalam undang-undang yang mengatur perbendaharaan negara mengingat lebih banyak menyangkut hubungan administratif antarkementerian negara/lembaga di lingkungan pemerintah. Pertanggungjawaban Pengelolaan Keuangan Negara, salah satu upaya konkrit untuk mewujudkan transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan negara adalah penyampaian laporan pertanggungjawaban keuangan pemerintah yang memenuhi prinsip-prinsip tepat waktu dan disusun dengan mengikuti standar akuntansi pemerintah yang telah diterima secara umum. Laporan keuangan pemerintah pusat yang telah diperiksa oleh Badan Pemeriksa Keuangan harus disampaikan kepada DPR selambat-lambatnya 6 (enam) bulan setelah berakhirnya tahun anggaran yang bersangkutan, demikian pula laporan keuangan pemerintah daerah yang telah diperiksa oleh Badan Pemeriksa Keuangan harus disampaikan kepada DPRD selambat-lambatnya 6 (enam) bulan setelah berakhirnya tahun anggaran yang bersangkutan. Dalam rangka akuntabilitas pengelolaan keuangan negara menteri/pimpinan lembaga/gubernur/bupati/walikota selaku pengguna anggaran/pengguna barang bertanggung jawab atas pelaksanaan kebijakan yang ditetapkan dalam Undang-undang tentang APBN/Peraturan Daerah tentang APBD, dari segi manfaat/hasil (outcome). Sedangkan Pimpinan unit organisasi kementerian negara/lembaga bertanggung jawab atas pelaksanaan kegiatan yang ditetapkan dalam Undang-undang tentang APBN, demikian pula Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah bertanggung jawab atas pelaksanaan kegiatan yang ditetapkan dalam Peraturan Daerah tentang APBD, dari segi barang dan/atau jasa yang disediakan (output). Sebagai konsekuensinya, dalam undang-undang ini diatur sanksi yang berlaku bagi menteri/pimpinan lembaga/gubernur/bupati/walikota, serta Pimpinan unit organisasi kementerian negara/lembaga/Satuan Kerja Perangkat Daerah yang terbukti melakukan penyimpangan kebijakan/kegiatan yang telah ditetapkan dalam UU tentang APBN /Peraturan Daerah tentang APBD. Ketentuan sanksi tersebut dimaksudkan sebagai upaya preventif dan represif, serta berfungsi sebagai jaminan atas ditaatinya Undang-undang tentang APBN/Peraturan Daerah tentang APBD yang bersangkutan. Selain itu perlu ditegaskan prinsip yang berlaku universal bahwa barang siapa yang diberi wewenang untuk menerima, menyimpan dan membayar atau menyerahkan uang, surat berharga atau barang milik negara bertanggungjawab secara pribadi atas semua kekurangan yang terjadi dalam pengurusannya. Kewajiban untuk mengganti kerugian keuangan negara oleh para pengelola keuangan negara dimaksud merupakan unsur pengendalian intern yang andal. ANALISIS Birokrasi Keuangan di Indonesia dimulai dengan kelahiran Paket Undang Undang (UU) Keuangan Negara, UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, UU No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara Dengan keluarnya paket Undang-undang ini akan mengantisipasi perubahan pengelolaan manajemen keuangan negarayang mengacu kepada standar akuntansi pemerintahan yang dianut secara internasional dan hal tersebut juga akan memberikan pengaruh yang besar dalam pelaksanaan manajemen pemerintahan secara menyeluruh. Mengidentifikasi kelemahan manajemen Keuangan Negara yang lama sangat dibutuhkan sehingga bisa terjadi perbaikan sistem manajemen, kelemahan-kelemahan tersebut antara lain dibidang penganggaran dimana fungsi perencanaan dan penganggaran masih bersatu, penganggaran dibagi menjadi dua bagian antara anggaran rutin dan pembangunan, penganggaran hanya terfokus pada input, dan Hak Dewan Perwakilan Rakyat sebagai pengawas anggaran belum tersedia (hak budget). Dalam bidang Pelaksanaan Anggaran adanya duplikasi pekerjaan karena adanya pemisahan anggaran rutin dan pembangunan, pelaksanaan fungsi perbendaharaan yang masih jauh dari optimal dimana terdapat banyak idle kas pemerintah di perbankan akibat pelaksanaan anggaran. Dalam bidang pembukuan atau akuntasi dan pertanggungjawaban dimana laporan keuangan hanya dikenal dengan single entry, belum ada yang namanya Standar Akuntansi dalam penyusunan laporan keuangan serta belum efektifnya pemeriksa fungsional dalam mengaudit keuangan negara akibat kurangnya landasan hukum3. Reformasi birokrasi untuk keungan negara diterapkan dalam hulu sampai kehilir. Reformasi dibidang perencanaan dan penganggaran, pelaksanaan anggaran, sistem penerimaan dan pengeluaran, pengelolaan kas, piutang, barang milik negara, pelaporan serta pemeriksaan maka perubahan perundang-undangan secara menyeluruh untuk Keuangan Negara, dengan menata kembali sistem penerimaan dan pengeluaran negara, reorganisasi, perubahan mindset pegawai, peningkatan ketrampilan pegawai, peningkatan kesejahteraan untuk para pegawai, serta peningkatan sarana infrastruktur kantor. Dalam Undang-undang Nomor 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara yang menggantikan Indische Comptabiliteitswet, staatsblad 1925 Nomor 448 (ICW), diatur hubungan hukum antar institusi dalam lembaga eksekutif di bidang pelaksanaan Undang-Undang APBN dan APBD. Dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 2004 ini juga mengatur sistem pelaksanaan pendapatan dan belanja Negara/Daerah, sistem pelaksanaan penerimaan dan pengeluaran negara/daerah, sistem pengelolaan kas, sistem piutang dan utang negara/daerah, sistem akuntansi dan laporan pertanggungjawaban pelaksanaan APBN/APBD, sistem kerugian negara/daerah, dan sistem pengelolaan badan layanan umum. Pandangan tersebut tampaknya didukung pula oleh Richard Allen dan Daniel Tommasi yang menyatakan bahwa, oleh karena terdapat hubungan yang erat antara anggaran pemerintah pusat dan pemerintah daerah, dan juga mengingat bahwa pengeluaran daerah, pajak daerah, maupun kebijakan pinjaman daerah memiliki implikasi yang besar terhadap kinerja perekonomian dan fiskal suatu negara, desain dan penerapan kebijakan tersebut merupakan kewenangan pemerintah pusat, dalam hal ini menteri keuangan4. Terjadi perubahan paradigma di Kementerian Keuangan dari financial administration ke financial management dengan tema let managers manage serta dibuat sistem pengendalian dengan istilah check and balance mechanism dan diakhir pekerjaan dihasil laporan keuangan*akuntansi modern yang sesuai dengan standar internasional. Fungsi otorisasi dihapuskan, karena telah menjadi bagian hak budget DPR, fungsi ordonansi diserahkan kepada pengguna/kuasa pengguna anggaran kementerian dan lembaga dan fungsi komptabel menjadi wewenang Menteri Keuangan dan dalam penyusunan dokumen pelaksanaan anggaran yang dikenal dengan Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) memuat unsur-unsur sasaran yang hendak dicapai, fungsi, program, rincian kegiatan, anggaran yang disediakan, rencana penarikan dan pendapatan yang diperkirakan diterima. SIMPULAN Dari gambaran diatas, reformasi hukum keuangan negara makin memberikan gambaran bahwa benar-benar terjadi perbaikan hukum keuangan negara secara signifikan Kompleksnya perbaikan-perbaikan yang dilakukan dari sistem keuangan negara, tata kerja lembaga yang menangani keuangan negara serta pengguna anggaran sampai akhir dari sistem keuangan negara yaitu pertanggungjawaban dan laporan keuangan diharapkan reformasi hukum keuangan akan memberikan pengurangan kerugian negara dari korupsi dari kelemahan-kelemahan sistem perencanaan anggaran, pelaksanaan anggaran, laSISTEM KEUANGAN NEGARA DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2003 TENTANG KEUANGAN NEGAR

 Posted: Juli 7, 2011 in Katanya, Pernah bikin Tag:Dizto De Niro, hukum keuangan 2  UMUM  Pemerintah secara langsung atau tidak memegang kekuasaan pengelolaan keuangan negara sebagai bagian dari kekuasaan pemerintahan. Semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu, baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubungan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut1.Kekuasaan tersebut meliputi kewenangan yang bersifat umum dan kewenangan yang bersifat khusus. Untuk membantu Presiden dalam penyelenggaraan kekuasaan dimaksud, sebagian dari kekuasaan tersebut dikuasakan kepada Menteri Keuangan selaku Pengelola Fiskal dan Wakil Pemerintah dalam kepemilikan kekayaan negara yang dipisahkan, serta kepada Menteri/Pimpinan Lembaga selaku Pengguna Anggaran/Pengguna Barang kementerian negara/lembaga yang dipimpinnya.  Sesuai dengan semangat desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan negara sebagian kekuasaan Presiden tersebut diserahkan kepada Gubernur/Bupati/Walikota selaku pengelola keuangan daerah. Demikian pula untuk mencapai kestabilan nilai rupiah tugas menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter serta mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran dilakukan oleh bank sentral.  Maka dalam penyusunan dan penetapan APBN dan APBD terlihat ketentuan mengenai penyusunan dan penetapan APBN/APBD dalam undang-undang ini meliputi penegasan tujuan dan fungsi penganggaran pemerintah, penegasan peran DPR/DPRD dan pemerintah dalam proses penyusunan dan penetapan anggaran, pengintegrasian sistem akuntabilitas kinerja dalam sistem penganggaran, penyempurnaan klasifikasi anggaran, penyatuan anggaran, dan penggunaan kerangka pengeluaran jangka menengah dalam penyusunan anggaran.  Disini anggaran merupakan alat akuntabilitas, manajemen, dan kebijakan ekonomi. Sebagai instrumen kebijakan ekonomi anggaran berfungsi untuk mewujudkan pertumbuhan dan stabilitas perekonomian serta pemerataan pendapatan dalam rangka mencapai tujuan bernegara. Dalam upaya untuk meluruskan kembali tujuan dan fungsi anggaran tersebut perlu dilakukan pengaturan secara jelas peran DPR/DPRD dan pemerintah dalam proses penyusunan dan penetapan anggaran sebagai penjabaran aturan pokok yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang Dasar 1945.  Sehubungan dalam proses belanja negara/belanja daerah dirinci sampai dengan unit organisasi, fungsi, program, kegiatan, dan jenis belanja. Hal tersebut berarti bahwa setiap pergeseran anggaran antarunit organisasi, antarkegiatan, dan antarjenis belanja harus mendapat persetujuan DPR/DPRD, yang mana hal inilah menimbulkan banyak problematika dalam penerapanya dan teknis dilapangan.  Masalah lain yang tidak kalah pentingnya dalam upaya memperbaiki proses penganggaran di sektor publik adalah penerapan anggaran berbasis prestasi kerja. Mengingat bahwa sistem anggaran berbasis prestasi kerja /hasil memerlukan kriteria pengendalian kinerja dan evaluasi serta untuk menghindari duplikasi dalam penyusunan rencana kerja dan anggaran kementerian negara/lembaga/perangkat daerah, perlu dilakukan penyatuan sistem akuntabilitas kinerja dalam sistem penganggaran dengan memperkenalkan sistem penyusunan rencana kerja dan anggaran kementerian negara/lembaga/perangkat daerah.  Sejalan dengan upaya untuk menerapkan secara penuh anggaran berbasis kinerja di sektor publik, perlu pula dilakukan perubahan klasifikasi anggaran agar sesuai dengan klasifikasi yang digunakan secara internasional. Perubahan dalam pengelompokan transaksi pemerintah tersebut dimaksudkan untuk memudahkan pelaksanaan anggaran berbasis kinerja, memberikan gambaran yang objektif dan proporsional mengenai kegiatan pemerintah, menjaga konsistensi dengan standar akuntansi sektor publik, serta memudahkan penyajian dan meningkatkan kredibilitas statistik keuangan pemerintah.  Walaupun anggaran dapat disusun dengan baik, jika proses penetapannya terlambat akan berpotensi menimbulkan masalah dalam pelaksanaannya. Oleh karena itu, dalam undang-undang ini diatur secara jelas mekanisme pembahasan anggaran tersebut di DPR/DPRD, termasuk pembagian tugas antara panitia/komisi anggaran dan komisi-komisi pasangan kerja kementerian negara/lembaga/perangkat daerah di DPR/DPRD. Perlunya efektivitas sistem pengendalian intern pemerintah (SPIP) berupa peraturan-peraturan teknis yang harus tertib, menjadi tanggungjawab menteri/pimpinan lembaga/gubernur/bupati/walikota2.  Munculnya permasalahan lagi dengan hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Bank Sentral, Pemerintah Daerah, Pemerintah/Lembaga Asing, Perusahaan Negara, Perusahaan Daerah, Perusahaan Swasta, serta Badan Pengelola Dana Masyarakat. Sejalan dengan semakin luas dan kompleksnya kegiatan pengelolaan keuangan negara, perlu diatur ketentuan mengenai hubungan keuangan antara pemerintah dan lembaga-lembaga infra/supranasional.  Dalam hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan bank sentral ditegaskan bahwa pemerintah pusat dan bank sentral berkoordinasi dalam penetapan dan pelaksanaan kebijakan fiskal dan moneter. Dalam hubungan dengan pemerintah daerah, undang-undang ini menegaskan adanya kewajiban pemerintah pusat mengalokasikan dana perimbangan kepada pemerintah daerah. Selain itu, undang-undang ini mengatur pula perihal penerimaan pinjaman luar negeri pemerintah.  Pemerintah dan perusahaan negara, perusahaan daerah, perusahaan swasta, dan badan pengelola dana masyarakat ditetapkan bahwa pemerintah dapat memberikan pinjaman/hibah/penyertaan modal kepada dan menerima pinjaman/hibah dari perusahaan negara/daerah setelah mendapat persetujuan DPR/DPRD.  Bagaimana dengan Pelaksanaan APBN dan APBD, setelah APBN ditetapkan secara rinci dengan undang-undang, pelaksanaannya dituangkan lebih lanjut dengan keputusan Presiden sebagai pedoman bagi kementerian negara/lembaga dalam pelaksanaan anggaran. Penuangan dalam keputusan Presiden tersebut terutama menyangkut hal-hal yang belum dirinci di dalam undang-undang APBN, seperti alokasi anggaran untuk kantor pusat dan kantor daerah kementerian negara/lembaga, pembayaran gaji dalam belanja pegawai, dan pembayaran untuk tunggakan yang menjadi beban kementerian negara/lembaga. Selain itu, penuangan dimaksud meliputi pula alokasi dana perimbangan untuk provinsi/kabupaten/kota dan alokasi subsidi sesuai dengan keperluan perusahaan/badan yang menerima.  Untuk memberikan informasi mengenai perkembangan pelaksanaan APBN/APBD, pemerintah pusat/pemerintah daerah perlu menyampaikan laporan realisasi semester pertama kepada DPR/DPRD pada akhir Juli tahun anggaran yang bersangkutan. Informasi yang disampaikan dalam laporan tersebut menjadi bahan evaluasi pelaksanaan APBN/APBD semester pertama dan penyesuaian/perubahan APBN/APBD pada semester berikutnya.  Ketentuan mengenai pengelolaan keuangan negara dalam rangka pelaksanaan APBN/APBD ditetapkan tersendiri dalam undang-undang yang mengatur perbendaharaan negara mengingat lebih banyak menyangkut hubungan administratif antarkementerian negara/lembaga di lingkungan pemerintah.  Pertanggungjawaban Pengelolaan Keuangan Negara, salah satu upaya konkrit untuk mewujudkan transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan negara adalah penyampaian laporan pertanggungjawaban keuangan pemerintah yang memenuhi prinsip-prinsip tepat waktu dan disusun dengan mengikuti standar akuntansi pemerintah yang telah diterima secara umum.  Laporan keuangan pemerintah pusat yang telah diperiksa oleh Badan Pemeriksa Keuangan harus disampaikan kepada DPR selambat-lambatnya 6 (enam) bulan setelah berakhirnya tahun anggaran yang bersangkutan, demikian pula laporan keuangan pemerintah daerah yang telah diperiksa oleh Badan Pemeriksa Keuangan harus disampaikan kepada DPRD selambat-lambatnya 6 (enam) bulan setelah berakhirnya tahun anggaran yang bersangkutan.  Dalam rangka akuntabilitas pengelolaan keuangan negara menteri/pimpinan lembaga/gubernur/bupati/walikota selaku pengguna anggaran/pengguna barang bertanggung jawab atas pelaksanaan kebijakan yang ditetapkan dalam Undang-undang tentang APBN/Peraturan Daerah tentang APBD, dari segi manfaat/hasil (outcome). Sedangkan Pimpinan unit organisasi kementerian negara/lembaga bertanggung jawab atas pelaksanaan kegiatan yang ditetapkan dalam Undang-undang tentang APBN, demikian pula Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah bertanggung jawab atas pelaksanaan kegiatan yang ditetapkan dalam Peraturan Daerah tentang APBD, dari segi barang dan/atau jasa yang disediakan (output).  Sebagai konsekuensinya, dalam undang-undang ini diatur sanksi yang berlaku bagi menteri/pimpinan lembaga/gubernur/bupati/walikota, serta Pimpinan unit organisasi kementerian negara/lembaga/Satuan Kerja Perangkat Daerah yang terbukti melakukan penyimpangan kebijakan/kegiatan yang telah ditetapkan dalam UU tentang APBN /Peraturan Daerah tentang APBD. Ketentuan sanksi tersebut dimaksudkan sebagai upaya preventif dan represif, serta berfungsi sebagai jaminan atas ditaatinya Undang-undang tentang APBN/Peraturan Daerah tentang APBD yang bersangkutan.  Selain itu perlu ditegaskan prinsip yang berlaku universal bahwa barang siapa yang diberi wewenang untuk menerima, menyimpan dan membayar atau menyerahkan uang, surat berharga atau barang milik negara bertanggungjawab secara pribadi atas semua kekurangan yang terjadi dalam pengurusannya. Kewajiban untuk mengganti kerugian keuangan negara oleh para pengelola keuangan negara dimaksud merupakan unsur pengendalian intern yang andal.  ANALISIS  Birokrasi Keuangan di Indonesia dimulai dengan kelahiran Paket Undang Undang (UU) Keuangan Negara, UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, UU No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara  Dengan keluarnya paket Undang-undang ini akan mengantisipasi perubahan pengelolaan manajemen keuangan negarayang mengacu kepada standar akuntansi pemerintahan yang dianut secara internasional dan hal tersebut juga akan memberikan pengaruh yang besar dalam pelaksanaan manajemen pemerintahan secara menyeluruh.  Mengidentifikasi kelemahan manajemen Keuangan Negara yang lama sangat dibutuhkan sehingga bisa terjadi perbaikan sistem manajemen, kelemahan-kelemahan tersebut antara lain dibidang penganggaran dimana fungsi perencanaan dan penganggaran masih bersatu, penganggaran dibagi menjadi dua bagian antara anggaran rutin dan pembangunan, penganggaran hanya terfokus pada input, dan Hak Dewan Perwakilan Rakyat sebagai pengawas anggaran belum tersedia (hak budget). Dalam bidang Pelaksanaan Anggaran adanya duplikasi pekerjaan karena adanya pemisahan anggaran rutin dan pembangunan, pelaksanaan fungsi perbendaharaan yang masih jauh dari optimal dimana terdapat banyak idle kas pemerintah di perbankan akibat pelaksanaan anggaran.  Dalam bidang pembukuan atau akuntasi dan pertanggungjawaban dimana laporan keuangan hanya dikenal dengan single entry, belum ada yang namanya Standar Akuntansi dalam penyusunan laporan keuangan serta belum efektifnya pemeriksa fungsional dalam mengaudit keuangan negara akibat kurangnya landasan hukum3.  Reformasi birokrasi untuk keungan negara diterapkan dalam hulu sampai kehilir. Reformasi dibidang perencanaan dan penganggaran, pelaksanaan anggaran, sistem penerimaan dan pengeluaran, pengelolaan kas, piutang, barang milik negara, pelaporan serta pemeriksaan maka perubahan perundang-undangan secara menyeluruh untuk Keuangan Negara, dengan menata kembali sistem penerimaan dan pengeluaran negara, reorganisasi, perubahan mindset pegawai, peningkatan ketrampilan pegawai, peningkatan kesejahteraan untuk para pegawai, serta peningkatan sarana infrastruktur kantor.  Dalam Undang-undang Nomor 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara yang menggantikan Indische Comptabiliteitswet, staatsblad 1925 Nomor 448 (ICW), diatur hubungan hukum antar institusi dalam lembaga eksekutif di bidang pelaksanaan Undang-Undang APBN dan APBD. Dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 2004 ini juga mengatur sistem pelaksanaan pendapatan dan belanja Negara/Daerah, sistem pelaksanaan penerimaan dan pengeluaran negara/daerah, sistem pengelolaan kas, sistem piutang dan utang negara/daerah, sistem akuntansi dan laporan pertanggungjawaban pelaksanaan APBN/APBD, sistem kerugian negara/daerah, dan sistem pengelolaan badan layanan umum.  Pandangan tersebut tampaknya didukung pula oleh Richard Allen dan Daniel Tommasi yang menyatakan bahwa, oleh karena terdapat hubungan yang erat antara anggaran pemerintah pusat dan pemerintah daerah, dan juga mengingat bahwa pengeluaran daerah, pajak daerah, maupun kebijakan pinjaman daerah memiliki implikasi yang besar terhadap kinerja perekonomian dan fiskal suatu negara, desain dan penerapan kebijakan tersebut merupakan kewenangan pemerintah pusat, dalam hal ini menteri keuangan4.  Terjadi perubahan paradigma di Kementerian Keuangan dari financial administration ke financial management dengan tema let managers manage serta dibuat sistem pengendalian dengan istilah check and balance mechanism dan diakhir pekerjaan dihasil laporan keuangan akuntansi modern yang sesuai dengan standar internasional.  Fungsi otorisasi dihapuskan, karena telah menjadi bagian hak budget DPR, fungsi ordonansi diserahkan kepada pengguna/kuasa pengguna anggaran kementerian dan lembaga dan fungsi komptabel menjadi wewenang Menteri Keuangan dan dalam penyusunan dokumen pelaksanaan anggaran yang dikenal dengan Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) memuat unsur-unsur sasaran yang hendak dicapai, fungsi, program, rincian kegiatan, anggaran yang disediakan, rencana penarikan dan pendapatan yang diperkirakan diterima.  SIMPULAN  Dari gambaran diatas, reformasi hukum keuangan negara makin memberikan gambaran bahwa benar-benar terjadi perbaikan hukum keuangan negara secara signifikan Kompleksnya perbaikan-perbaikan yang dilakukan dari sistem keuangan negara, tata kerja lembaga yang menangani keuangan negara serta pengguna anggaran sampai akhir dari sistem keuangan negara yaitu pertanggungjawaban dan laporan keuangan diharapkan reformasi hukum keuangan akan memberikan pengurangan kerugian negara dari korupsi dari kelemahan-kelemahan sistem perencanaan anggaran, pelaksanaan anggaran, laporan keuangan serta pertanggungjawaban bisa dikurangi dengan signifikan.

Selasa, 20 Maret 2012

RAISON d'ETRE
Pada suatu saat, pernah terbetik suatu keinginan dari berbagai pihak, terutama para anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), agar lembaga legislatif di republik kita ini memiliki hak untuk menyusun Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebagaimana halnya lembaga eksekutif.
Pada suatu saat lain, sejumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) terpaksa harus menginap di ’hotel prodeo’, karena oleh para penegak hukum di republik ini telah dinyatakan melakukan korupsi berjama’ah. Padahal, berbagai keputusan yang dituduhkan kepada para anggota dewan yang terhormat tersebut ternyata diputuskan bersama-sama lembaga eksekutif dalam suatu forum sakral dan dituangkan dalam dokumen resmi yang disebut dengan Peraturan Daerah Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
Kemudian, banyak pihak dipaksa untuk mengernyitkan keningnya ketika mengetahui seorang petinggi pemerintahan dan juga seorang pejabat suatu perusahaan negara yang bergerak di bidang perbankan dituduh telah merugikan keuangan negara, padahal masyarakat menyang-sikan bahwa uang tersebut memang uang Negara dalam arti sebenarnya.
Sementara itu, para birokrat di berbagai lembaga pemerintah merasa ragu dalam mengambil keputusan, ataupun bahkan menolak menduduki jabatan tertentu terkait dengan pengelolaan keuangan negara, karena kurang memahami berbagai konsep (baru) keuangan Negara, sehingga khawatir tertimpa musibah.
Di lain pihak, karena ilmu keuangan negara yang disoroti dari berbagai dimensi keilmuan kurang berkembang di Indonesia, para cerdik pandai merasa ragu memasuki wilayah keilmuan ini, dan hanya sekedar mencoba meraba-raba dan membuat tafsiran dari sudut pandang keilmuan yang dimilikinya.
Itulah kira-kira sebagian alasan dibukanya BLOG yang khusus untuk mendiskusikan masalah-masalah keuangan Negara di Indonesia.
Partisipasi semua pihak dalam mendiskusikan berbagai permasalahan keuangan negara di republik ini akan merupakan usaha bersama untuk melakukan studi tentang konsepsi keuangan negara dan memberikan edukasi kepada seluruh masyarakat.
Perlu disampaikan bahwa konsep baru keuangan negara yang dikembangkan oleh para pemikir yang kemudian dituangkan dalam paket undang-undang bidang keuangan negara maupun ketentuan derivasi lainnya, memang belum dapat dikatakan sempurna.
Namun bagaimanapun, lahirnya paket undang-undang tersebut di atas merupakan kenyataan bahwa Indonesia kini telah memiliki sistem keuangan negara sendiri, sehingga terlepas dari berbagai pengaruh ketentuan keuangan kolonial yang antara lain bertahun 1800-an.
Oleh sebab itu, sudah selayaknya bila semua pihak memberi apresiasi dan berusaha memahami sebaik-baiknya, seperti ungkapan bahasa Prancis di bawah ini :
----SI ON A PAS CE QUE L’ON AIME, IL FAUT AIMER CE QUE L’ON A ---
Salam
(SS)
Catatan :
Dalam rangka memenuhi saran dan pendapat berbagai pihak, artikel dalam Blog ini dikategorikan dalam :
* RUBRIK, yaitu artikel yang ditulis sesuai dengan design topik yang telah ditetapkan dalam blog ini.
* INTERMEZZO, yaitu artikel yang membahas masalah-masalah keuangan negara yang bersifat actual.
* TANGGAPAN, yaitu artikel yang berisi respons terhadap pertanyaan atau komentar pembaca yang, karena sifatnya, perlu dijelaskan secara lebih detail.



- - - - - -




Monday, January 18, 2010

ILMU KEUANGAN NEGARA : implementasinya dalam Pemerintahan Daerah di Indonesia ? [1] (Rubrik)


INTRODUKSI

Bila dicermati, berbagai kasus penyalahgunaan kewenangan dalam pengelolaan keuangan daerah oleh para pejabat di pemerintahan daerah yang ujung-ujungnya dapat dikategorikan sebagai perbuatan korupsi, antara lain disebabkan oleh kurangnya pemahaman terhadap konsepsi pengelolaan keuangan negara oleh para pejabat yang bersangkutan. Di sisi lain, kurangnya pemahaman tersebut justru disebabkan oleh ketidakjelasan konsep pengelolaan keuangan yang dimplementasikan pada pemerintahan daerah.

Ketidakjelasan konsep pengelolaan keuangan yang diimplementasikan pada pemerintahan daerah berakibat pula pada ketidakmampuan pemerintah daerah dalam menyajikan laporan keuangan yang berkualitas dengan opini yang diharapkan, yaitu Wajar Tanpa Pengecualian.

Terkait dengan itu, pada kesempatan ini disajikan tulisan dengan urutan sebagaimana di bawah ini.


1. DAERAH SEBAGAI MINIATUR NEGARA

Berbagai pemikiran yang menjadi dasar konsep studi tentang keuangan negara telah dikemukakan secara detail dalam beberapa bagian terdahulu. Selanjutnya, mengingat konsep-konsep dimaksud akan diterapkan pada lembaga, yaitu pemerintah, pertanyaan yang harus diklarifikasi pada kesempatan ini adalah siapa sebenarnya yang dimaksudkan dengan pemerintah ?

Dalam suatu kepustakaan yang diterbitkan oleh OECD yang berjudul Managing Public Expenditure - A Reference Book for Transition Countries dengan Richard Allen dan Daniel Tommasi sebagai editor, pemerintah didefinisikan sebagai suatu kelompok entitas atau unit yang, disamping melaksanakan kewajiban politik dan melaksanakan perannya di bidang perekonomian dan di bidang pengaturan kemasyarakatan, menyediakan layanan masyarakat untuk kepentingan warga negara, baik individu maupun kelompok, mendistribusikan kembali pendapatan dan menjamin kesejahteraan masyarakat.

Terkait dengan itu, selanjutnya dinyatakan bahwa dengan peran dan kewajiban seperti tersebut di atas, pemerintah memiliki kewenangan untuk memungut, baik secara langsung maupun tidak langsung, pajak-pajak dan pungutan lainnya yang bersifat memaksa tanpa memberikan imbalan secara langsung dan dalam bentuk apapun kepada masyarakat.

Konsepsi yang terkandung dalam definisi di atas, secara prinsip, tidak berbeda dengan konsepsi sejak lahirnya pemikiran tentang keuangan negara. Oleh sebab itu, definisi tentang pemerintah ataupun negara, yang dalam kepustakaan digunakan secara bergantian, terkait dengan studi keuangan negara dapat ditemukan dalam berbagai kepustakaan sejak zaman klasik.

Menurut para ahli, dalam konteks studi tentang keuangan negara, tidak dibedakan pengertian pemerintah pusat dan pemerintah daerah, kecuali menyangkut kewilayahan. Hal ini dapat dilihat, misalnya dalam kepustakaan di atas, Richard Allen dan Daniel Tommasi menyatakan bahwa terminologi “Pemerintah” (General government) digunakan untuk mendeskripsikan entitas pemerintah pada tingkatan apa pun, baik untuk tingkat pusat, regional, maupun lokal.

Namun demikian, sekedar untuk mempertegas kedudukan pemerintah daerah dalam hubugannya dengan pemerintah pusat, dapat dilihat pendapatnya sebagai berikut, yaitu bahwa pemerintah daerah pada hakekatnya merupakan sekumpulan lembaga pemerintah yang memiliki kewenangan atas suatu bagian tertentu dalam kawasan suatu negara. Dalam hal ini pemerintah daerah dapat berupa pemerintahan tingkat ketiga dalam suatu negara federal atau merupakan pemerintahan tingkat kedua atau ketiga dalam suatu negara kesatuan, yaitu, propinsi, kabupaten, maupun walikota.

Sementara itu, Schiavo Campo yang secara eksplisit mendeskripsikan tentang pemerintahan daerah dalam bukunya To Serve and To Preserve: Improving Public Administration in a Competitive World, yang diterbitkan oleh Asian Development Bank (ADB) menyatakan bahwa :
‘ Di bawah pemerintah pusat di setiap negara terdapat entitas pemerintahan daerah yang memiliki kewenangan hukum dan kewenangan administratif yang berbeda sesuai tingkatannya, dan memiliki sumber-sumber pendapatan yang dapat dipergunakan untuk menutup kebutuhannya. Entitas ini terdiri dari propinsi dan kabupaten di tingkat atas dan tingkat menengah. Kewenangan pemerintah daerah dapat berasal dari undang-undang dasar suatu negara atau dari perundang-undangan yang disusun oleh pemerintah pusat.’


Dari berbagai pendapat tersebut di atas, kemudian kita dapat menyusun sebuah pertanyaan untuk mengungkap logika di balik pernyataan yang dikemukakan oleh para ahli keuangan negara, yaitu mengapa mereka tidak membedakan pemerintah pusat dan pemerintah daerah ?

Menurut kenyataan, para ahli tersebut mendasarkan pandangan mereka pada pemikiran yang bersifat analogik dalam masalah keuangan negara, yaitu bahwa setiap entitas pemerintahan (baik pusat maupun daerah) harus memiliki anggaran pendapatan dan belanja masing-masing yang ditetapkan sesuai dengan ketentuan yang termaktub dalam undang-undang atau undang-undang dasar.

Sebagaimana dikemukakan di atas, bahwa keuangan negara merupakan permasalahan politik. Yaitu permasalahan bagaimana pemerintah mampu mengelola rumah tangga negara dengan baik sesuai kebutuhan warga negara. Dalam konsep ini kemudian lahir suatu bentuk kesepakatan antara yang memerintah (gouvernant) dan yang diperintah (gouverne). D`n ini terjadi pada berbagai tingkat pemerintahan. Tidak hanya di tingkat pemerintah pusat, tetapi juga di tingkat pemerintah daerah. Sementara itu, dalam kenyataan lainnya, mereka juga melihat bahwa pemerintah daerah juga memiliki sumber-sumber pendapatan yang dapat digunakan secara bebas untuk membiayai kebutuhan daerahnya.

Kenyataan seperti itulah yang kemudian membawa pemikiran logik mereka untuk kemudian berpendapat bahwa ‘daerah’, pada hakekatnya, adalah sebuah negara ‘mini’, karena memiliki kelengkapan kelembagaan politik dasar yang memegang fungsi eksekutif dan fungsi legislatif.


2. KONSEPSI DALAM IMPLEMENTASI


Dengan memperhatikan konsepsi maupun pandangan para ahli keuangan negara di atas, tidak seharusnya masih terdapat pihak-pihak tertentu yang berpandangan bahwa sistem pengelolaan keuangan pemerintah daerah berbeda dengan pemerintah pusat.

Seharusnya, semua pihak memahami apa yang dikatakan oleh Dominique FLECHER dan Henri FORT dalam bukunya Les Finances Locales, bahwa angaran pendapatan dan belanja pemerintah daerah tunduk pada prinsip-prinsip yang sama yang digunakan dalam anggaran pendapatan pemerintah pusat. Artinya bahwa pengelolaan keuangan daerah harus mengikuti prinsip universalitas, prinsip anualitas, prinsip spesialitas, dlsb yang merupakan golden principles dalam pengelolaan keuangan negara.

Hal tersebut di atas, sudah tentu akan berimplikasi terhadap masalah-masalah teknis-administratif pengelolaan keuangan itu sendiri di daerah. Tambahan lagi, sebagaimana dinyatakannya pula bahwa, walikota-seperti pula halnya propinsi menampilkan dua karakteristik, yaitu bahwa daerah tersebut merupakan wilayah suatu negara di mana dilaksanakan berbagai keputusan pemerintah pusat.

Pandangan tersebut tampaknya didukung pula oleh Richard Allen dan Daniel Tommasi yang menyatakan bahwa, oleh karena terdapat hubungan yang erat antara anggaran pemerintah pusat dan pemerintah daerah, dan juga mengingat bahwa pengeluaran daerah, pajak daerah, maupun kebijakan pinjaman daerah memiliki implikasi yang besar terhadap kinerja perekonomian dan fiskal suatu negara, desain dan penerapan kebijakan tersebut merupakan kewenangan pemerintah pusat, dalam hal ini menteri keuangan.

Kendatipun mereka mengakui bahwa ketentuan tentang proses penganggaran dan prosedur pengelolaan keuangan pada berbagai tingkatan daerah, maupun hubungan fiskal yang demikian kompleks antara pusat dan daerah harus diatur dalam perundang-undangan yang berbeda, undang-undang yang mengatur tentang anggaran pendapatan dan belanja negara harus pula mengatur berbagai ketentuan tentang :

· Prinsip-prinsip dasar pengelolaan keuangan, pengawasan dan audit eksternal, dan juga pengaturan tentang pembagian pendapatan, bila diperlukan.
· Pembatasan tentang pinjaman negara/ daerah
· Methode dan klasifikasi akuntansi anggaran yang memungkinkan koherensi dan berlaku bagi seluruh tingkat pemerintahan.

Namun demikian, diakui pula oleh para ahli bahwa penerapan konsep keuangan negara dalam wilayah pemerintahan daerah sebagai bagian dari suatu negara, membawa akibat terhadap fungsi anggaran pendapatan dan belanja negara yang kemudian berbeda dengan fungsi anggaran pendapatan dan belanja daerah.

Sebagaimana dikemukakan dalam bagian sebelumnya bahwa anggaran pendapatan dan belanja negara merupakan alat pemerintah dalam mengendalikan prekonomian nasional (budget is an economic tool of the government). Mekanisme pengendalian tersebut dilakukan melalui kebijakan anggaran defisit, berimbang, ataupun melalui kebijakan anggaran surplus, tergantung pada situasi perekonomian yang dihadapi pada suatu saat tertentu.

Sebagai instrumen pemerintah di bidang ekonomi, anggaran pendapatan dan belanja negara memiliki fungsi stabilisasi yang dapat mendorong ataupun menghambat laju pertumbuhan perekonomian nasional pada tingkatan yang diinginkan sesuai dengan konjungtur atau siklus global perekonomian.

Disamping itu, anggaran pendapatan dan belanja negara, juga memiliki fungsi pemerataan dan peningkatan pendapatan masyarakat melalui kegiatan pengeluaran maupun kegiatan penerimaannya.

Oleh karena wilayah pemerintah daerah berada dalam lingkup negara, fungsi-fungsi tersebut tidak secara efektif dapat dilaksanakan oleh anggaran pendapatan dan belanja daerah.

Dengan demikian, anggaran pemerintah daerah bukanlah alat kebijakan perekonomian daerah. Pemerintah daerah tidak memiliki alat untuk mengendalikan kemerosotan ataupun resesi ekonomi (nasional). Bila terjadi kemerosotan ataupun resesi perekonomian nasional, yang dapat dilakukan pemerintah daerah adalah sekedar mengurangi akibat kemerosotan ataupun resesi tersebut di wilayah itu sendiri sesuai dengan kebijakan pemerintah pusat. Hal ini seperti dikemukakan oleh Jack Rabin, W. Bartley Hildreth, Gerald J Miller dalam bukunya Budgeting : Formulation and Execution ataupun oleh Dominique FLECHER dan Henri FORT.

Demikian pula halnya, dengan perbatasan wilayah yang terbuka (open boundary) pada kenyataannya berbagai kegiatan pengeluaran yang ditujukan untuk meningkatkan pendapatan atau kesejahteraan masyarakat yang dilakukan oleh suatu daerah, bukan hanya memberi manfaat atau kesejahteraan kepada penduduk setempat, tetapi juga kepada penduduk di wilayah sekitarnya. Hal yang demikian ini tentunya tidak akan terjadi pada konteks wilayah suatu negara.

Oleh karena itu, bila anggaran pendapatan dan belanja negara merupakan alat pemerintah untuk mengendalikan perekonomian nasional, anggaran pendapatan dan belanja pemerintah daerah lebih merupakan alat administrasi pemerintah daerah. Bila anggaran pendapatan dan belanja negara di bidang ekonomi mengandung kebijakan makro (macro policy oriented), anggaran pendapatan dan belanja pemerintah daerah lebih bersifat mikro-teknis, yaitu sebagai alat pembukuan/ akuntansi.

Hal ini dapat dilihat misalnya, bahwa posisi defisit, berimbang ataupun surplus dalam anggaran pendapatan dan belanja negara, secara teori, adalah suatu kondisi yang disengaja. Posisi tersebut merupakan kebijakan pemerintah untuk mempengaruhi elemen-elemen makro ekonomi lainnya agar berperilaku sesuai keinginan pemerintah.

Akan tetapi, posisi defisit dalam anggaran pendapatan dan belanja daerah merupakan suatu keterpaksaan, karena posisi tersebut merupakan akibat dari situasi di mana pemerintah daerah tidak mampu menutupi pengeluarannya dari penerimaan yang diproyeksikan. Demikian pula halnya dengan posisi surplus. Bagi pemerintah daerah, yang paling ideal adalah bahwa setiap saat, posisi anggaran pendapatan dan belanjanya adalah berimbang.

3. PENGALAMAN INDONESIA

Impementasi konsep keuangan negara dalam pemerintahan daerah di Indonesia secara nyata mulai diwujudkan dalam tahun 2003, yaitu sejak lahirnya Paket Undang-undang Bidang Keuangan Negara yang terdiri dari Undang-undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Undang-undang No.1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, dan Undang-undang No.15 Tahun 2004 Tentang Pemeriksaan Tanggungjawab Pengelolaan Keuangan Negara.

Undang-undang Keuangan Negara maupun Undang-undang Perbendaharaan Negara, secara khusus, telah mewadahi berbagai pemikiran yang berkembang dalam rangka penerapan konsepsi keuangan negara secara baik ke dalam sistem pemerintahan daerah. Lahirnya paket undang-undang yang monumental tersebut telah pula merubah beberapa undang-undang terkait dengan pemerintahan daerah, yaitu tentang perimbangan keuangan dan pemerintahan daerah.

Namun demikian, dalam kenyataannya berbagai pihak masih tetap berpendapat bahwa keuangan daerah merupakan bagian dari pengelolaan pemerintahan daerah.

Praktek lama yang selama ini dikukuhi sebagai suatu dalil bahwa pelaksanaan pengelolaan keuangan daerah yang didasarkan pada Indische Comptabiliteits Wet tahun 1925 (ICW), yang dalam beberapa hal, ternyata berbeda dengan praktek pengelolaan keuangan pemerintah pusat, dijadikan sebagai pembenaran bagi pihak-pihak tertentu untuk menyatakan bahwa pengelolaan keuangan daerah pada hakekatnya memang berbeda dengan pengelolaan keuangan negara. Padahal, bila dirunut, praktek tersebut dalam banyak hal lebih disebabkan pada penafsiran yang kurang tepat terhadap ICW, atau kurangnya pemahaman terhadap konsep konsep baru tentang pengelolaan keuangan negara.

Egoisme kdlembagaan ataupun egoisme individu yang tidak didasarkan pada kepentingan nasional tersebut justru akan sangat merugikan pemerintah.

Pedoman yang dikeluarkan oleh Kementerian Dalam Negeri selalu berubah karena tidak didasarkan pada konsep dasar yang mapan (solid). Salah satunya, sebagaimana disinyalir oleh Bank Dunia dalam laporannya pada tahun 2005 adalah pedoman yang mengatur ketentuan dan format anggaran bagi pemerintah daerah yang terbukti kurang sejalan dengan peraturan yang dikeluarkan oleh Kementerian Keuangan.

Faktor ini tampaknya merupakan salah satu penyebab lambannya implementasi aturan baru tentang keuangan negara di daerah, disamping menyebabkan kebingungan di antara praktisi di pemerintah daerah.

Demikian pula halnya dengan perbaikan sistem pelaporan keuangan daerah. Kegiatan yang dilakukan sejak lahirnya Paket Undang-undang Bidang Keuangan Negara pada tahun 2003, hingga kini belum menunjukkan hasil yang memuaskan. Permasalahan yang muncul di lapangan adalah karena konsep dasar pengelolaan keuangan yang digunakan kurang jelas. Aturan pelaporan keuangan yang disusun Kementerian Dalam Negeri dan dituangan dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) sering berbeda dengan Standar Akuntansi Pemerintah (SAP) yang telah ditetapkan Kementrian Keuangan.

Padahal, berbagai pihak telah menyarankan, termasuk Bank Dunia, agar dalam kerangka peraturan nasional, pemerintah diharapkan menetapkan peraturan daerah yang mengadopsi peraturan nasional yang sudah ditetapkan dan lebih lanjut menetapkan peraturan pelaksanaannya. Artinya bahwa dalam penyusunan dan pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, Pemerintah Daerah agar mengacu pada ketentuan yang telah disusun secara nasional oleh Departemen Keuangan selaku pemegang kewenangan dibidang pengelolaan keuangan negara.

Akibat dari keadaan tersebut sangat jelas terlihat sebagaimana dikemukakan oleh Prof. DR. Anwar Nasution, Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dalam ’papernya’ yang berjudul Perbaikan Pengelolaan Keuangan Negara dan Keuangan Daerah. Dari 459 laporan Keuangan pemerintah Daerah (LKPD) yang disajikan oleh 33 Propinsi dan 426 Kabupaten/ Kota pada tahun 2006, BPK hanya dapat memberikan opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) terhadap 3 LKPD. Sisanya, 326 LKPD dengan opini Wajar Dengan Pengecualian (WDP), 102 LKPD dengan opini Disclaimer (Tidak Memberikan Pendapat), dan 28 LKPD dengan opini Tidak Wajar.

Sementara itu, dari hasil penelitian, perkembangan opini pemeriksaan BPK terhadap LKPD dalam kurun waktu tahun 2004 sampai dengan tahun 2006 menunjukkan kecenderungan yang relatif mengecewakan dengan semakin menurunnya persentase LKPD yang memperoleh opini WTP dan WDP. Sebaliknya, opini Tidak Memberikan Pendapat justru sangat menonjol.

Dalam menanggapi kenyataan seperti itu, Sri Mulyani, sebagai Menteri Keuangan, pada suatu kesempatan memberikan pengarahan menyampaikan agar dilakukan sosialisasi kepada seluruh Pemerintah Daerah tentang rezim pengelolaan keuangan negara baru yang didasarkan pada Undang-undang No. 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara, dan Undang-undang No.1 Tahun 2004 Tentang perbendaharaan negara, dan juga Undang-undang No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Tanggungjawab Pengelolaan Keuangan Negara. Disamping itu, ketidakmampuan berbagai pemerintah daerah untuk menyusun laporan keuangannya yang disebabkan karena kurangnya tenaga teknis (akuntan), perlu disikapi dengan merekrut dan mendidik tenaga di bidang akuntansi.

Dengan mencermati uraian dalam bagian sebelumnya, arahan Menteri Keuangan tersebut dapat dipastikan tidak akan memberikan hasil sebagaimana yang diharapkan. Menteri Keuangan tampaknya cenderung terjebak pada pemikiran/ penyelesaian yang bersifat teknis-administratif. Bukan bersifat konsepsional. Langkah yang dilakukan seharusnya fokus pada dua hal. Pertama, bersifat konsepsional, yaitu terkait dengan kejelasan tentang konsepsi keuangan daerah; kedua, bersifat teknis-administratif, yaitu yang terkait dengan ketersediaan aturan pelaksanaan di bidang keuangan daerah, dan ketersediaan tenaga pelaksana.

SISTEM ADMINISTRASI KEUANGAN DAERAH


oleh : Salvador Pinto

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgGEA4N7P_CXUMKRapvOA0C7RCDtTCPR_8eEvzMOSootZ86flT_oi52LaUkB5AcQ3iELbRn20yT2SueP_SAyB6ABmx3qGzxPLn_KWnQid4NiD0HFRocHBIchJ565LKbiF-OPR-bB-x3Fra5/s200/DSC00891.JPG
PENGERTIAN KEUANGAN DAERAH

Pengertian keuangan daerah sebagaimana dimuat dalam penjelasan pasal 156 ayat 1 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah adalah sebagai berikut :
“Keuangan daerah adalah semua hak dan kewajiban daerah yang dapat dinilai dengan uang dan segala sesuatu berupa uang dan barang yang dapat dijadikan milik daerah yang berhubungan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut”.
Berdasarkan pengertian tersebut pada prinsipnya keuangan daerah mengandung unsur pokok yaitu:
•    Hak Daerah    yang dapat dinilai
•    Kewajiban Daerah    dengan uang
•    Kekayaan yang berhubungan dengan hak dan kewajiban tersebut.

Hak daerah dalam rangka keuangan daerah adalah segala hak yang melekat pada Daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang digunakan dalam usaha pemerintah daerah mengisi kas daerah.

Hak Daerah tersebut meliputi antara lain :
1.    Hak menarik pajak daerah dan Retribusi Daerah (UU No. 28 Tahun 2009).
2.    Hak mengadakan pinjaman (UU No. 33 tahun 2004 ).
3.    Hak untuk memperoleh dana perimbangan dari pusat (UU No. 33 tahun 2004).

Kewajiban daerah juga merupakan bagian pelaksanaan tugas-tugas Pemerintahan pusat sesuai pembukaan UUD 1945 yaitu:
1.    melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia,
2.    memajukan kesejahteraan umum,
3.    mencerdaskan kehidupan bangsa,
4.    ikut serta melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan perdamaian abadi dan keadilan sosial.


HUBUNGAN ANTARA KEUANGAN DAERAH DENGAN KEUANGAN NEGARA

Pasal 1 UUD 1945 menetapkan negara Indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk republik. Selanjutnya dalam pasal 18 UUD 1945 beserta penjelasannya menyatakan bahwa daerah Indonesia terbagi dalam daerah yang bersifat otonom dan bersifat daerah administrasi.

Pembangunan daerah sebagai bagian integral dari pembangunan nasional dilaksanakan berdasarkan prinsip otonomi daerah dan pengaturan sumber¬sumber daya nasional yang memberikan kesempatan bagi peningkatan demokrasi dan kinerja daerah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat menuju masyarakat madani yang bebas korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Penyelenggaraan pemerintahan daerah juga merupakan subsistem dari pemerintahan negara sehingga antara keuangan daerah dengan keuangan negara akan mempunyai hubungan yang erat dan saling mempengaruhi.

Untuk mendukung penyelenggaraan otonomi daerah diperlukan kewenangan yang luas, nyata dan bertanggung jawab di daerah serta secara proporsional diwujudkan dengan pengaturan, pembagian dan pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan, serta perimbangan keuangan pemerintah pusat dan daerah. Sumber pembiayaan pemerintahan daerah dalam rangka perimbangan keuangan pemerintah pusat dan daerah dilaksanakan atas dasar desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan.

Setiap penyerahan atau pelimpahan kewenangan dari pemerintah pusat kepada daerah dalam rangka desentralisasi dan dekonsentrasi disertai dengan pengalihan sumber daya manusia dan sarana serta pengalokasian anggaran yang diperlukan untuk kelancaran pelaksanaan penyerahan dan pelimpahan kewenangan tersebut. Sedangkan penugasan dari pemerintah pusat kepada daerah dalam rangka tugas pembantuan disertai pengalokasian anggaran.

Dari ketiga jenis pelimpahan wewenang tersebut, hanya pelimpahan wewenang dalam rangka pelaksanaan desentralisasi saja yang merupakan sumber keuangan daerah melalui alokasi dana perimbangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Sedangkan alokasi dana dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah dalam rangka dekonsentrasi dan tugas pembantuan tidak merupakan sumber penerimaan APBD dan diadministrasikan serta dipertanggungjawabkan secara terpisah dari administrasi keuangan dalam pembiayaan pelaksanaan desentralisasi.

PENGELOLA KEUANGAN DAERAH

Pengelolaan Keuangan Daerah dilaksanakan oleh pemegang kekuasaan pengelola keuangan daerah. Kepala Daerah selaku kepala pemerintah daerah adalah pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan daerah dan mewakili pemerintah daerah dalam kepemilikan kekayaan daerah yang dipisahkan.

Kepala Daerah perlu menetapkan pejabat-pejabat tertentu dan para bendahara untuk melaksanakan pengelolaan keuangan daerah. Para pengelola keuangan daerah tersebut adalah:
1.    Koordinator Pengelolaan Keuangan Daerah (Koordinator PKD).
2.    Pejabat Pengelola Keuangan Daerah (PPKD).
3.    Pejabat Pengguna Anggaran/Pengguna Barang (PPA/PB).
4.    Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK).
5.    Pejabat Penatausahaan Keuangan Satuan Kerja Perangkat Daerah (PPK-SKPD), dan
6.    Bendahara Penerimaan dan Bendahara Pengeluaran.

Berikut ini adalah uraian tentang tugas-tugas para pejabat pengelola keuangan daerah tersebut.

Pemegang Kekuasaan Pengelolaan Keuangan Daerah

Kepala Daerah selaku kepala pemerintah daerah adalah pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan daerah dan mewakili pemerintah daerah dalam kepemilikan kekayaan daerah yang dipisahkan. Pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan daerah mempunyai kewenangan:
a.    Menetapkan    kebijakan    tentang    pelaksanaan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
b.    Menetapkan kebijakan tentang pengelolaan barang daerah.
c.    Menetapkan kuasa pengguna anggaran/pengguna barang.
d.    Menetapkan bendahara penerimaan dan/atau bendahara pengeluaran.

e.    Menetapkan pejabat yang bertugas melakukan pemungutan penerimaan daerah.
f.    Menetapkan pejabat yang bertugas melakukan pengelolaan utang dan piutang daerah.
g.    Menetapkan pejabat yang bertugas melakukan pengelolaan barang milik daerah.
h.    Menetapkan pejabat yang bertugas melakukan pengujian atas tagihan dan memerintahkan pembayaran.

Kepala daerah selaku pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan daerah melimpahkan sebagian atau seluruh kekuasaannya kepada:

a.    Sekretaris Daerah selaku Koordinator Pengelola Keuangan Daerah.
b.    Kepala Satuan Kerja Pengelola Keuangan Daerah (SKPKD) selaku Pejabat Pengelola Keuangan Daerah (PPKD).
c.    Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) selaku pejabat pengguna anggaran/pengguna barang.

Pelimpahan tersebut ditetapkan dengan keputusan kepala daerah berdasarkan prinsip pemisahan kewenangan antara yang memerintahkan, menguji, dan yang menerima atau mengeluarkan uang, yang merupakan unsur penting dalam sistem pengendalian intern.

Koordinator Pengelolaan Keuangan Daerah

Sekretaris daerah selaku koordinator pengelolaan keuangan daerah membantu kepala daerah menyusun kebijakan dan mengkoordinasikan penyelenggaraan urusan pemerintahan daerah termasuk pengelolaan keuangan daerah. Sekretaris Daerah selaku koordinator pengelolaan keuangan daerah mempunyai tugas koordinasi di bidang:
a.    Penyusunan dan pelaksanaan kebijakan pengelolaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
b.    Penyusunan dan pelaksanaan kebijakan pengelolaan barang daerah.
c.    Penyusunan rancangan APBD dan rancangan perubahan APBD.
d.    Penyusunan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) APBD, perubahan APBD, dan pertanggungjawaban pelaksanaan APBD.


e.    Tugas-tugas pejabat perencana daerah, Pejabat Pengelola Keuangan Daerah, dan pejabat pengawas keuangan daerah.
f.    Penyusunan laporan keuangan daerah dalam rangka pertanggungjawaban pelaksanaan APBD.

Selain mempunyai tugas koordinasi, Sekretaris Daerah mempunyai tugas:
a.    memimpin Tim Anggaran Pemerintah Daerah,
b.    menyiapkan pedoman pelaksanaan APBD,
c.    menyiapkan pedoman pengelolaan barang daerah,
d.    memberikan persetujuan pengesahan Dokumen Pelaksanaan Anggaran (DPA-SKPD) / Dokumen Perubahan Pelaksanaan Anggaran (DPPA), dan
e.    melaksanakan tugas-tugas koordinasi pengelolaan keuangan daerah lainnya berdasarkan kuasa yang dilimpahkan oleh kepala daerah.

Koordinator pengelolaan keuangan daerah bertanggung jawab atas pelaksanaan tugas-tugas tersebut kepada kepala daerah.

Pejabat Pengelola Keuangan Daerah

Kepala Satuan Kerja Pengelola Keuangan Daerah (SKPKD) selaku Pejabat Pengelola Keuangan Daerah (PPKD) mempunyai tugas:
a.    menyusun dan melaksanakan kebijakan pengelolaan keuangan daerah,
b.    menyusun rancangan APBD dan rancangan Perubahan APBD,
c.    melaksanakan pemungutan pendapatan daerah yang telah ditetapkan dengan Peraturan Daerah,
d.    melaksanakan fungsi Bendahara Umum Daerah (BUD),
e.    menyusun    laporan    keuangan    daerah    dalam    rangka
pertanggungjawaban pelaksanaan APBD; dan
f.    melaksanakan tugas lainnya berdasarkan kuasa yang dilimpahkan oleh kepala daerah.
PPKD dalam melaksanakan fungsinya selaku Bendahara Umum Daerah (BUD) berwenang:
a.    menyusun kebijakan dan pedoman pelaksanaan APBD;
b.    mengesahkan DPA-SKPD/DPPA-SKPD;
c.    melakukan pengendalian pelaksanaan APBD;
d.    memberikan petunjuk teknis pelaksanaan sistem penerimaan dan pengeluaran kas daerah;

e.    melaksanakan pemungutan pajak daerah;
f.    menetapkan Surat Penyediaan Dana (SPD);
g.    menyiapkan pelaksanaan pinjaman dan pemberian pinjaman atas nama pemerintah daerah;
h.    melaksanakan sistem akuntansi dan pelaporan keuangan daerah;
i.    menyajikan informasi keuangan daerah; dan
j.    melaksanakan kebijakan dan pedoman pengelolaan serta penghapusan barang milik daerah.
PPKD selaku BUD menunjuk pejabat di lingkungan satuan kerja pengelola keuangan daerah selaku Kuasa Bendahara Umum Daerah (Kuasa BUD). PPKD mempertanggungjawabkan pelaksanaan tugasnya kepada Kepala Daerah melalui Sekretaris Daerah.
Penunjukan Kuasa BUD oleh PPKD ditetapkan dengan keputusan kepala daerah. Kuasa BUD mempunyai tugas:
a.    menyiapkan anggaran kas;
b.    menyiapkan Surat Penyediaan Dana (SPD);
c.    menerbitkan Surat Perintah Pencairan Dana (SP2D);
d.    menyimpan seluruh bukti asli kepemilikan kekayaan daerah;
e.    memantau pelaksanaan penerimaan dan pengeluaran APBD oleh bank dan/atau lembaga keuangan lainnya yang ditunjuk;
f.    mengusahakan dan mengatur dana yang diperlukan dalam pelaksanaan APBD;
g.    menyimpan uang daerah;
h.    melaksanakan    penempatan    uang    daerah    dan
mengelola/menatausahakan investasi daerah;
i.    melakukan pembayaran berdasarkan permintaan pejabat pengguna anggaran atas beban rekening kas umum daerah;
j.    melaksanakan pemberian pinjaman atas nama pemerintah daerah;
k.    melakukan pengelolaan utang dan piutang daerah; dan
l.    melakukan penagihan piutang daerah.

Kuasa BUD bertanggung jawab atas pelaksanaan tugasnya kepada BUD.



PPKD dapat melimpahkan kepada pejabat lainnya di lingkungan SKPKD untuk melaksanakan tugas-tugas sebagai berikut:
a.    menyusun rancangan APBD dan rancangan Perubahan APBD;

b.    melakukan pengendalian pelaksanaan APBD;
c.    melaksanakan pemungutan pajak daerah;
d.    menyiapkan pelaksanaan pinjaman dan pemberian jaminan atas nama pemerintah daerah;
e.    melaksanakan sistem akuntansi dan pelaporan keuangan daerah;
f.    menyajikan informasi keuangan daerah; dan
g.    melaksanakan kebijakan dan pedoman pengelolaan serta penghapusan barang milik daerah.

4. Pejabat Pengguna Anggaran/Pengguna Barang
Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) selaku Pejabat Pengguna Anggaran /Pengguna Barang (PPA/PB) mempunyai tugas:
a.    menyusun Rencana Kerja dan Anggaran SKPD (RKA-SKPD);
b.    menyusun Dokumen Pelaksanaan Anggaran SKPD (DPA-SKPD);
c.    melakukan tindakan yang mengakibatkan pengeluaran atas beban anggaran belanja;
d.    melaksanakan anggaran SKPD yang dipimpinnya;
e.    melakukan pengujian atas tagihan dan memerintahkan pembayaran;
f.    melaksanakan pemungutan penerimaan bukan pajak;
g.    mengadakan ikatan/perjanjian kerjasama dengan pihak lain dalam batas anggaran yang telah ditetapkan;
h.    menandatangani Surat Perintah Membayar (SPM);
i.    mengelola utang dan piutang yang menjadi tanggung jawab SKPD yang dipimpinnya;
j.    mengelola barang milik daerah/kekayaan daerah yang menjadi tanggung jawab SKPD yang dipimpinnya;
k.    menyusun dan menyampaikan laporan keuangan SKPD yang dipimpinnya;
l.    mengawasi pelaksanaan anggaran SKPD yang dipimpinnya; dan

m.    melaksanakan tugas-tugas pengguna anggaran/pengguna barang lainnya berdasarkan kuasa yang dilimpahkan oleh kepala daerah.

Dalam hal pengadaan Barang/Jasa Pengguna Anggaran bertindak sebagai Pejabat Pembuat Komitmen sesuai ketentuan peraturan pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
Pejabat pengguna anggaran/pengguna barang bertanggung jawab atas pelaksanaan tugasnya kepada Kepala Daerah melalui Sekretaris Daerah.

Pejabat Pengguna Anggaran/Pengguna Barang dalam melaksanakan tugas-tugasnya dapat melimpahkan sebagian kewenangannya kepada Kepala Unit Kerja pada SKPD selaku Kuasa Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Barang. Pelimpahan sebagian kewenangan tersebut berdasarkan pertimbangan tingkatan daerah, besaran SKPD, besaran jumlah uang yang dikelola, beban kerja, lokasi, kompetensi dan/atau rentang kendali dan pertimbangan objektif lainnya. Pelimpahan sebagian kewenangan tersebut ditetapkan oleh kepala daerah atas usul kepala SKPD. Kuasa pengguna anggaran/kuasa pengguna barang mempertanggung jawabkan pelaksanaan tugas-tugasnya kepada pengguna anggaran/ pengguna barang.

5. Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan SKPD

Pejabat Pengguna Anggaran/Pengguna Barang dan Kuasa Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Barang dalam melaksanakan program dan kegiatan menunjuk pejabat pada unit kerja SKPD selaku Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK). Penunjukan pejabat tersebut berdasarkan pertimbangan kompetensi jabatan, anggaran kegiatan, beban kerja, lokasi, dan/atau rentang kendali dan pertimbangan objektif lainnya.

PPTK bertanggung jawab atas pelaksanaan tugasnya kepada pengguna anggaran/pengguna barang atau kuasa pengguna anggaran/kuasa pengguna barang yang telah menunjuknya. Tugas¬tugas tersebut adalah:
a.    mengendalikan pelaksanaan kegiatan;

b.    melaporkan perkembangan pelaksanaan kegiatan; dan
c.    menyiapkan dokumen anggaran atas beban pengeluaran pelaksanaan kegiatan, yang mencakup dokumen administrasi kegiatan maupun dokumen administrasi yang terkait dengan persyaratan pembayaran yang ditetapkan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.

6. Pejabat Penatausahaan Keuangan SKPD

Untuk melaksanakan anggaran yang dimuat dalam Dokumen Pelaksanaan Anggaran SKPD (DPA-SKPD), Kepala SKPD menetapkan pejabat yang melaksanakan fungsi tata usaha keuangan pada SKPD sebagai Pejabat Penatausahaan Keuangan SKPD (PPK¬SKPD). PPK-SKPD mempunyai tugas:
a.    meneliti kelengkapan Surat Permintaan Pembayaran Langsung (SPP-LS) pengadaan barang dan jasa yang disampaikan oleh bendahara pengeluaran dan diketahui/ disetujui oleh PPTK;
b.    meneliti kelengkapan Surat Permintaan Pembayaran Uang Persediaan (SPP-UP), Surat Permintaan Pembayaran Ganti Uang Persediaan (SPP-GU), Surat Permintaan Pembayaran Tambah Uang Persediaan (SPP-TU) dan SPP-LS gaji dan tunjangan PNS serta penghasilan lainnya yang ditetapkan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang diajukan oleh bendahara pengeluaran;
c.    melakukan verifikasi Surat Permintaan Pembayaran (SPP);
d.    menyiapkan Surat Perintah Membayar (SPM);
e.    melakukan verifikasi harian atas penerimaan;
f.    melaksanakan akuntansi SKPD; dan
g.    menyiapkan laporan keuangan SKPD.
PPK-SKPD tidak boleh merangkap sebagai pejabat yang bertugas melakukan pemungutan penerimaan negara/daerah, bendahara, dan/atau PPTK.


7. Bendahara Penerimaan dan Bendahara Pengeluaran
Kepala daerah atas usul PPKD menetapkan Bendahara Penerimaan dan Bendahara Pengeluaran untuk melaksanakan tugas kebendaharaan dalam rangka pelaksanaan anggaran pada SKPD. Bendahara Penerimaan dan Bendahara Pengeluaran tersebut adalah pejabat fungsional. Bendahara Penerimaan dan Bendahara Pengeluaran baik secara langsung maupun tidak langsung dilarang melakukan kegiatan perdagangan, pekerjaan pemborongan dan penjualan jasa atau bertindak sebagai penjamin atas kegiatan/ pekerjaan/penjualan, serta membuka rekening/giro pos atau menyimpan uang pada suatu bank atau lembaga keuangan lainnya atas nama pribadi.

Bendahara Penerimaan dan Bendahara Pengeluaran dalam melaksanakan tugasnya dapat dibantu oleh Bendahara Penerimaan Pembantu dan/atau Bendahara Pengeluaran Pembantu.
Bendahara Penerimaan dan Bendahara Pengeluaran secara fungsional bertanggung jawab atas pelaksanaan tugasnya kepada PPKD selaku BUD.

DAFTAR ISTILAH/SINGKATAN
DALAM PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH

1.    Pemerintah Pusat, selanjutnya disebut pemerintah, adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang¬Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945.

2.    Pemerintahan Daerah adalah penyelenggara urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

3.    Pemerintah Daerah adalah gubernur, bupati, dan/atau Walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.

4.    Daerah Otonom, selanjutnya disebut daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.

5.    Keuangan Daerah adalah semua hak dan kewajiban daerah dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah yang dapat dinilai dengan uang termasuk didalamnya segala bentuk kekayaan yang berhubungan dengan hak dan kewajiban daerah tersebut.
6.    Pengelolaan Keuangan Daerah adalah keseluruhan kegiatan yang meliputi    perencanaan,    pelaksanaan,    penatausahaan,    pelaporan, pertanggungjawaban, dan pengawasan keuangan daerah.

7.    APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah) adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan daerah yang dibahas dan disetujui bersama oleh pemerintah daerah dan DPRD, dan ditetapkan dengan peraturan daerah.

8.    Peraturan Daerah adalah peraturan yang dibentuk oleh DPRD dengan persetujuan bersama kepala daerah, termasuk Qanun yang berlaku di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan peraturan daerah provinsi (perdasi) yang berlaku di Provinsi Papua.

9.    Kepala Daerah adalah gubernur bagi daerah provinsi atau bupati bagi daerah kabupaten atau walikota bagi daerah kota.

10.    Pemegang Kekuasaan Pengelolaan Keuangan Daerah adalah kepala daerah    yang    karena    jabatannya mempunyai    kewenangan menyelenggarakan keseluruhan pengelolaan keuangan daerah.

11.    PPKD (Pejabat Pengelola Keuangan Daerah) adalah kepala satuan kerja pengelola keuangan daerah yang mempunyai tugas melaksanakan pengelolaan APBD dan bertindak sebagai bendahara umum daerah.

12.    BUD (Bendahara Umum Daerah) adalah PPKD yang bertindak dalam kapasitas sebagai bendahara umum daerah.

13.    Kuasa BUD adalah pejabat yang diberi kuasa untuk melaksanakan tugas bendahara umum daerah.

14.    SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah) adalah perangkat daerah pada pemerintah daerah selaku pengguna anggaran/barang.

15.    Unit Kerja adalah bagian SKPD yang melaksanakan satu atau beberapa program.

16.    PPTK (Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan) adalah pejabat pada unit kerja SKPD yang melaksanakan satu atau beberapa kegiatan dari suatu program sesuai dengan bidang tugasnya.

17.    PPK-SKPD (Pejabat Penatausahaan Keuangan SKPD) adalah pejabat yang melaksanakan fungsi tata usaha keuangan pada SKPD.




18.    Pengguna Anggaran adalah pejabat pemegang kewenangan penggunaan anggaran untuk melaksanakan tugas pokok dan fungsi SKPD yang dipimpinnya.

19.    Kuasa Pengguna Anggaran adalah pejabat yang diberi kuasa untuk melaksanakan sebagian kewenangan pengguna anggaran dalam melaksanakan sebagian tugas dan fungsi SKPD.

20.    Pengguna Barang adalah pejabat pemegang kewenangan penggunaan barang milik daerah.

21.    Kas Umum Daerah adalah tempat penyimpanan uang daerah yang ditentukan oleh kepala daerah untuk menampung seluruh penerimaan daerah dan membayar seluruh pengeluaran daerah.

22.    Rekening Kas Umum Daerah adalah rekening tempat penyimpanan uang daerah yang ditentukan oleh kepala daerah untuk menampung seluruh penerimaan daerah dan membayar seluruh pengeluaran daerah pada bank yang ditetapkan.

23.    Bendahara Penerimaan adalah pejabat fungsional yang ditunjuk untuk menerima,    menyimpan,    menyetorkan,    menatausahakan,    dan mempertanggungjawabkan uang pendapatan daerah dalam rangka pelaksanaan APBD pada SKPD.

24.    Bendahara Pengeluaran adalah pejabat fungsional yang ditunjuk menerima,    menyimpan,    membayarkan, menata -usahakan,    dan mempertanggung jawabkan uang untuk keperluan belanja daerah dalam rangka pelaksanaan APBD pada SKPD.

25.    Entitas Pelaporan adalah unit pemerintahan yang terdiri dari satu atau lebih entitas akuntansi, yang menurut ketentuan peraturan perundang¬undangan wajib menyampaikan laporan pertanggungjawaban berupa laporan keuangan.




26.    Entitas Akuntansi adalah unit pemerintahan pengguna anggaran/ pengguna barang dan oleh karenanya wajib menyelenggarakan akuntansi dan menyusun laporan keuangan untuk digabungkan pada entitas pelaporan.

27.    Penerimaan Daerah adalah uang yang masuk ke kas daerah.

28.    Pengeluaran Daerah adalah uang yang keluar dari kas daerah.

29.    Pendapatan Daerah adalah hak pemerintah daerah yang diakui sebagai penambah nilai kekayaan bersih.

30.    Belanja Daerah adalah kewajiban pemerintah daerah yang diakui sebagai pengurang nilai kekayaan bersih.

31.    Surplus Anggaran Daerah adalah selisih lebih antara pendapatan daerah dan belanja daerah.

32.    Defisit Anggaran Daerah adalah selisih kurang antara pendapatan daerah dan belanja daerah.

33.    Pembiayaan Daerah adalah semua penerimaan yang perlu dibayar kembali dan/atau pengeluaran yang akan diterima kembali, baik pada tahun anggaran yang bersangkutan maupun pada tahun-tahun anggaran berikutnya.

34.    ShLPA (Sisa Lebih Perhitungan Anggaran) adalah selisih lebih realisasi penerimaan dan pengeluaran anggaran selama satu periode anggaran.

35.    SiKPA (Sisa Kurang Perhitungan Anggaran) adalah selisih kurang realisasi penerimaan dan pengeluaran anggaran selama satu periode anggaran.

36.    Pinjaman Daerah adalah semua transaksi yang mengakibatkan daerah menerima sejumlah uang atau menerima manfaat yang bernilai uang dari pihak lain sehingga daerah dibebani kewajiban untuk membayar kembali.






37.    Kerangka Pengeluaran Jangka Menengah adalah pendekatan penganggaran berdasarkan kebijakan, dengan pengambilan keputusan terhadap kebijakan tersebut dilakukan dalam perspektif lebih dari satu tahun anggaran, dengan mempertimbangkan implikasi biaya akibat keputusan yang bersangkutan pada tahun berikutnya yang dituangkan dalam prakiraan maju.

38.    Prakiraan Maju (forward estimate) adalah perhitungan kebutuhan dana untuk tahun anggaran berikutnya dari tahun yang direncanakan guna memastikan kesinambungan program dan kegiatan yang telah disetujui dan menjadi dasar penyusunan anggaran tahun berikutnya.

39.    Kinerja adalah keluaran/hasil dari kegiatan/program yang akan atau telah dicapai sehubungan dengan penggunaan anggaran dengan kuantitas dan kualitas yang terukur.

40.    Penganggaran Terpadu (unified budgeting) adalah penyusunan rencana keuangan tahunan yang dilakukan secara terintegrasi untuk seluruh jenis belanja guna melaksanakan kegiatan pemerintahan yang didasarkan pada prinsip pencapaian efisiensi alokasi dana.

41.    Fungsi adalah perwujudan tugas kepemerintahan dibidang tertentu yang dilaksanakan dalam rangka mencapai tujuan pembangunan nasional.

42.    Program adalah penjabaran kebijakan SKPD dalam bentuk upaya yang berisi satu atau lebih kegiatan dengan menggunakan sumber daya yang disediakan untuk mencapai hasil yang terukur sesuai dengan misi SKPD.

43.    Kegiatan adalah bagian dari program yang dilaksanakan oleh satu atau lebih unit kerja pada SKPD sebagai bagian dari pencapaian sasaran terukur pada suatu program dan terdiri dari sekumpulan tindakan pengerahan sumber daya baik yang berupa personal (sumber daya manusia), barang modal termasuk peralatan dan teknologi, dana, atau kombinasi dari beberapa atau kesemua jenis sumber daya tersebut sebagai masukan (input) untuk menghasilkan keluaran (output) dalam bentuk barang/jasa.
44.    Sasaran (target) adalah hasil yang diharapkan dari suatu program atau keluaran yang diharapkan dari suatu kegiatan.

45.    Keluaran (output) adalah barang atau jasa yang dihasilkan oleh kegiatan yang dilaksanakan untuk mendukung pencapaian sasaran dan tujuan program dan kebijakan.

46.    Hasil (outcome) adalah segala sesuatu yang mencerminkan berfungsinya keluaran dari kegiatan-kegiatan dalam satu program.

47.    RPJMD (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah) adalah dokumen perencanaan untuk periode lima tahun.

48.    RKPD (Rencana Kerja Pemerintah Daerah) adalah dokumen perencanaan daerah untuk periode satu tahun.

49.    TAPD (Tim Anggaran Pemerintah Daerah) adalah tim yang dibentuk dengan keputusan kepala daerah dan dipimpin oleh sekretaris daerah yang mempunyai tugas menyiapkan serta melaksanakan kebijakan kepala daerah dalam rangka penyusunan APBD yang anggotanya terdiri pejabat perencana daerah, PPKD, dan pejabat lainnya sesuai dengan kebutuhan.

50.    RKA-SKPD (Rencana Kerja dan Anggaran SKPD) adalah dokumen perencanaan dan penganggaran yang berisi program dan kegiatan SKPD serta anggaran yang diperlukan untuk melaksanakannya.

51.    KUA (Kebijakan Umum APBD) adalah dokumen yang memuat kebijakan bidang pendapatan,belanja, dan pembiayaan serta asumsi yang mendasarinya untuk periode 1 (satu) tahun.

52.    PPAS (Prioritas dan Plafon Anggaran Sementara) merupakan program prioritas dan patokan batas maksimal anggaran yang diberikan kepada SKPD untuk setiap program sebagai acuan dalam penyusunan RKA¬SKPD.

53.    DPA-SKPD (Dokumen Pelaksanaan Anggaran SKPD) merupakan dokumen yang memuat pendapatan dan belanja setiap SKPD yang digunakan sebagai dasar pelaksanaan oleh pengguna anggaran.
54.    SPP (Surat Permintaan Pembayaran) adalah dokumen yang diterbitkan oleh pejabat yang bertanggung jawab atas pelaksanaan kegiatan/ bendahara pengeluaran untuk mengajukan permintaan pembayaran.

55.    Surat Perintah Pencairan Dana (SP2D) adalah dokumen yang digunakan sebagai dasar pencairan dana yang diterbitkan oleh BUD berdasarkan SPM.

56.    Surat Perintah Membayar (SPM) adalah dokumen yang digunakan/ diterbitkan oleh pengguna anggaran/kuasa pengguna anggaran untuk penerbitan SP2D atas beban pengeluaran DPA-SKPD.

57.    SPM-LS (Surat Perintah Membayar Langsung) adalah dokumen yang diterbitkan oleh pengguna anggaran/kuasa pengguna anggaran untuk pendrbitan SP2D atas beban pengeluaran DPA-SKPD kepada pihak ketiga.

58.    UP (Uang Persediaan) adalah sejumlah uang tunai yang disediakan untuk satuan kerja dalam melaksanakan kegiatan operasional sehari-hari.

59.    SPM-UP (Surat Perintah Membayar Uang Persediaan) adalah dokumen yang diterbitkan oleh pengguna anggaran/kuasa pengguna anggaran untuk penerbitan SP2D atas beban pengeluaran DPA-SKPD yang dipergunakan sebagai uang persediaan untuk mendanai kegiatan operasional kantor sehari-hari.

60.    SPM-GU (Surat Perintah Membayar Ganti Uang Persediaan) adalah dokumen yang diterbitkan oleh pengguna anggaran/kuasa pengguna anggaran untuk penerbitan SP2D atas beban pengeluaran DPA-SKPD yang dananya dipergunakan untuk mengganti uang persediaan yang telah dibelanjakan.

61.    SPM-TU (Surat Perintah Membayar Tambahan Uang Persediaan) adalah dokumen yang diterbitkan oleh pengguna anggaran/kuasa pengguna anggaran untuk penerbitan SP2D atas beban pengeluaran DPA¬SKPD, karena kebutuhan dananya melebihi dari jumlah batas pagu uang persediaan yang telah ditetapkan sesuai dengan ketentuan.
62.    Piutang Daerah adalah jumlah uang yang wajib dibayar kepada pemerintah daerah dan/atau hak pemerintah daerah yang dapat dinilai dengan uang sebagai akibat perjanjian atau akibat lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan atau akibat lainnya yang sah.
63.    Barang Milik Daerah adalah semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban APBD atau berasal dari perolehan lainnya yang sah.

64.    Utang Daerah adalah jumlah uang yang wajib dibayar pemerintah daerah dan/atau kewajiban pemerintah daerah yang dapat dinilai dengan uang berdasarkan peraturan perundang-undangan, perjanjian, atau berdasarkan sebab lainnya yang sah.

65.    Dana Cadangan adalah dana yang disisihkan untuk menampung kebutuhan yang memerlukan dana relatif besar yang tidak dapat dipenuhi dalam satu tahun anggaran.

66.    Sistem Pengendalian Intern Keuangan Daerah merupakan suatu proses yang berkesinambungan yang dilakukan oleh lembaga/badan/unit yang mempunyai tugas dan fungsi melakukan pengendalian melalui audit dan evaluasi, untuk menjamin agar pelaksanaan kebijakan pengelolaan keuangan daerah sesuai dengan rencana dan peraturan perundang¬undangan.

67.    Kerugian Daerah adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai.

68.    BLUD (Badan Layanan Umum Daerah) adalah SKPD/unit kerja pada SKPD di lingkungan pemerintah daerah yang dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang dijual tanpa mengutamakan mencari keuntungan, dan dalam melakukan kegiatannya didasarkan pada prinsip efisiensi dan produktivitas.

69.    SPD (Surat Penyediaan Dana) adalah dokumen yang menyatakan tersedianya dana untuk melaksanakan kegiatan sebagai dasar penerbitan SPP.

70.    Investasi adalah penggunaan aset untuk memperoleh manfaat ekonomis seperti bunga, dividen, royalti, manfaat sosial dan/atau manfaat lainnya sehingga dapat meningkatkan kemampuan pemerintah dalam rangka pelayanan kepada masyarakat.

71.    Surat Pemberitahuan Pajak Daerah (SPTPD) adalah surat yang oleh wajib pajak digunakan untuk melaporkan penghitungan dan/atau pembayaran pajak, objek pajak dan/atau bukan objek pajak, dan/atau harta dan kewajiban, menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan Daerah.

72.    SKPD (Surat Ketetapan Pajak Daerah) adalah surat ketetapan pajak yang menentukan besarnya jumlah pokok pajak.

73.    SKPDN (Surat Ketetapan Pajak Daerah Nihil) adalah surat ketetapan pajak yang menentukan jumlah pokok pajak sama besarnya dengan jumlah kredit pajak atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak.

74.    SKPDKB (Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar) adalah surat ketetapan pajak yang menentukan besarnya jumlah pokok pajak, jumlah kredit pajak, jumlah kekurangan pembayaran pokok pajak, besarnya sanksi administrasi, dan jumlah yang masih harus dibayar.

75.    SKPDLB (Surat Ketetapan Pajak Daerah Lebih Bayar) adalah surat ketetapan pajak yang menentukan jumlah kelebihan pembayaran pajak karena jumlah kredit pajak lebih besar daripada pajak yang terutang atau tidak seharusnya terutang.

76.    SSPD (Surat Setoran Pajak Daerah) adalah surat yang oleh wajib pajak digunakan untuk melakukan pembayaran atau penyetoran pajak yang terutang ke kas daerah atau ke tempat pembayaran lain yang ditunjuk oleh kepala daerah.

77.    SKPDKBT (Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar Tambahan) adalah surat ketetapan pajak yang menentukan tambahan atas jumlah pajak yang telah ditetapkan.

78.    STPD (Surat Tagihan Pajak Daerah) adalah surat untuk melakukan tagihan pajak dan/atau sanksi administrasi berupa bunga dan/atau denda.

79.    SKRD (Surat Ketetapan Retribusi Daerah) adalah surat ketetapan retribusi yang menentukan besarnya pokok retribusi.

80.    SKRDLB (Surat Ketetapan Retribusi Daerah Lebih Bayar) adalah surat ketetapan retribusi yang menentukan jumlah kelebihan pembayaran retribusi karena jumlah kredit retribusi lebih besar daripada retribusi yang terutang atau tidak seharusnya terutang.


UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 25 TAHUN 1999
TENTANG
PERIMBANGAN KEUANGAN ANTARA
PEMERINTAHAN PUSAT DAN DAERAH
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
Menimbang :
  1. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia menyelenggarakan pemerintahan dan pembangunan untuk mencapai masyarakat adil, makmur, dan merata, berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;
  2. bahwa pembangunan daerah sebagai bagian integral dari pembangunan nasional dilaksanakan melalui otonomi daerah dan pengaturan sumber daya nasional, yang memberi kesempatan bagi peningkatan demokrasi dan kinerja daerah yang berdaya guna dan berhasil guna dalam penyelenggaraan pemerintahan, pelayanan masyarakat, dan pembangunan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat menuju masyarakat madani yang bebas korupsi, kolusi, dan nepotisme, untuk itu diperlukan keikutsertaan masyarakat, keterbukaan, dan pertanggungjawaban kepad masyarakat; 
  3. bahwa untuk mendukung penyelenggaraan otonomi daerah melalui penyediaan sumber-sumber pembiayaan berdasarkan desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan, perlu diatur perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah berupa sistem keuangan yang diatur berdasarkan pembagian-kewenangan, tugas, dan tanggung jawab yang jelas antar tingkat pemerintahan;
  4. bahwa Undang-undang Nomor 32 Tahun 1956 tentang Perimbangan Keuangan Antara Negara Dengan Daerah-daerah yang Berhak Mengurus Rumah Tangganya Sendiri, sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan keadaan serta adanya kebutuhan dan aspirasi masyarakat dalam mendukung otonomi daerah maka perlu ditetapkan Undang-undang yang mengatur perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah.
Mengingat :
  1. Pasal 1 ayat (1), Pasal 5 ayat (1), Pasal 18, dan Pasal 20 ayat (1), Pasal 23 ayat (2), dan Pasal 33 Undang-undang Dasar 1945;
  2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah, Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang Berkeadilan, Serta Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah Dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
  3. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839);
Dengan Persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN
Menetapkan : 
UNDANG-UNDANG TENTANG PERIMBANGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan :
  1. Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah adalah suatu sistem pembiayaan pemerintahan dalam kerangka negara kesatuan, yang mencakup pembagian keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah serta pemerataan antar-Daerah secara proporsional, demokratis, adil, dan transparan dengan memperhatikan potensi, kondisi, dan kebutuhan Daerah, sejalan dengan kewajiban dan pembagian kewenangan serta tata cara penyelenggaraan kewenangan tersebut, termasuk pengelolaan dan pengawasan keuangannya;
  2. Pemerintah Pusat adalah Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah;
  3. Pemerintah Daerah adalah Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah;
  4. Otonomi Daerah adalah Otonomi Daerah sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah;
  5. Daerah Otonom, yang selanjutnya disebut Daerah, adalah Daerah Otonom sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah;
  6. Kepala Daerah adalah Gubernur bagi Daerah Propinsi bagi Daerah Kabupaten atau Walikota bagi Daerah Kota sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah;
  7. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, yang selanjutnya disingkat DPRD, adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah;
  8. Desentralisasi adalah Desentralisasi sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah;
  9. Dekonsentrasi adalah Dekonsentrasi sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah;
  10. Tugas Pembantuan adalah Tugas Pembantuan sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah;
  11. Sekretariat Bidang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah adalah salah satu Sekretariat dalam Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah;
  12. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, yang selanjutnya disingkat APBN, adalah suatu rencana keuangan tahunan negara yang ditetapkan berdasarkan Undang-undang tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara;
  13. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, yang selanjutnya disingkat APBD, adalah suatu rencana keuangan tahunan Daerah yang ditetapkan berdasarkan Undang-undang tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah;
  14. Dana Perimbangan adalah dana yang bersumber dari penerimaan APBN yang dialokasikan kepada Daerah untuk membiayai kebutuhan Daerah dalam rangka pelaksanan Desentralisasi;
  15. Pinjaman Daerah adalah semua transaksi yang mengakibatkan Daerah menerima dari pihak lain sejumlah uang atau manfaat bernilai uang sehingga Daerah tersebut dibebani kewajiban untuk membayar kembali, tidak termasuk kredit jangka pendek yang lazim terjadi dalam perdagangan;
  16. Anggaran Dekonsentrasi adalah pelaksanaan APBN di Daerah Propinsi, yang mencakup semua penerimaan dan pengeluaran untuk membiayai pelaksanaan Dekonsentrasi;
  17. Anggaran Tugas Pembantuan adalah pelaksanaan APBN di Daerah dan Desa, yang mencakup semua penerimaan dan pengeluaran untuk membiayai pelaksanaan Tugas Pembantuan;
  18. Dana Alokasi Umum adalah dana yang berasal dari APBN, yang dialokasikan kepada Daerah untuk membantu membiayai kebutuhan tertentu;
  19. Dana Alokasi Khusus adalah dana yang berasal dari APBN, yang dialokasikan kepada Daerah untuk membantu kebutuhan tertentu;
  20. Dokumen Daerah adalah semua dokumen yang diterbitkan Pemerintah Daerah yang bersifat terbuka dan ditempatkan dalam Lembaran Daerah.
BAB II
DASAR-DASAR PEMBIAYAAN DAERAH
PEMERINTAH DAERAH
Pasal 2
  1. Penyelenggaraan tugas Daerah dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi dibiayai atas beban APBD.
  2. Penyelenggaraan tugas Pemerintah Pusat yang dilaksanakan oleh perangkat Daerah Propinsi dalam rangka pelaksanaan Dekonsentrasi dibiayai atas beban APBN.
  3. Penyelenggaraan tugas Pemerintah Pusat yang dilaksanakan oleh perangkat Daerah dan Desa dalam rangka Tugas Pembantuan dibiayai atas beban APBN.
  4. Penyerahan dan pelimpahan kewenangan Pemerintah Pusat kepada Gubernur atau penyerahan kewenangan atau penugasan Pemerintah Pusat kepada Bupati/Walikota diikuti dengan pembiayaannya
BAB III
SUMBER-SUMBER PENERIMAAN
PELAKSANAAN DESENTRALISASI
Bagian Pertama
Sumber-sumber Penerimaan Daerah
Pasal 3
Sumber-sumber penerimaan Daerah dalam pelaksanaan Desentralisasi adalah :
  1. Pendapatan Asli Daerah;
  2. Dana Perimbangan;
  3. Pinjaman Daerah;
  4. Lain-lain Penerimaan yang sah;
Bagian Kedua
Sumber Pendapatan Asli Daerah
Pasal 4
Sumber Pendapatan Asli Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a terdiri dari :
  1. Hasil pajak Daerah;
  2. Hasil Retribusi Daerah;
  3. Hasil perusahaan milik Daerah dan hasil pengelolaan kekayaan Daerah lainnya yang dipisahkan;
  4. Lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang sah.
Pasal 5
  1. Ketentuan mengenai pajak Daerah dan retribusi Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf a dan huruf b diatur dengan Undang-undang.
  2. Ketentuan mengenai perusahaan milik Daerah dan pengelolaan kekayaan Daerah lainnya yang dipisahkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf c diatur dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Bagian Ketiga
Dana Perimbangan
Pasal 6
  1. Dana Perimbangan terdiri dari :
    1. Bagian Daerah dari penerimaan Pajak dan Bangunan, Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, dan penerimaan dari sumber daya alam;
    2. Dana Alokasi Umum;
    3. Dana Alokasi Khusus;
  2. Penerimaan Negara dari Pajak Bumi dan Bangunan dibagi dengan imbangan 10% (sepuluh persen) untuk Pemerintah Pusat dan 90% (sembilan puluh persen) untuk Daerah.
  3. Penerimaan Daerah dari Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan dibagi dengan imbangan 20 % (dua puluh persen) untuk Pemerintah Pusat dan 80% (delapan puluh persen) untuk Daerah.
  4. 10% (sepuluh persen) penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan dan 20% (dua puluh persen) penerimaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang menjadi bagian dari Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) dibagikan kepada seluruh Kabupaten dan Kota.
  5. Penerimaan Negara dari sumber daya alam sektor kehutanan, sektor pertambangan umum, dan sektor perikanan dibagi dengan imbangan 20% (dua puluh persen) untuk Pemerintah Pusat dan 80% (delapan puluh persen) untuk Daerah. 
  6. Penerimaan Negara dari sumber daya alam sektor pertambangan minyak dan gas alam yang dihasilkan dari wilayah Daerah yang bersangkutan dibagi dengan imbangan sebagai berikut :
    1. Penerimaan Negara dari pertambangan minyak bumi yang berasal dari wilayah Daerah setelah dikurangi komponen pajak sesuai dengan ketentuan yang berlaku dibagi dengan imbangan 85% (delapan puluh lima persen) untuk Pemerintah Pusat dan 15% (lima belas persen) untuk Daerah.
    2. Penerimaan Negara dari pertambangan gas alam yang berasal dari wilayah Daerah setelah dikurangi komponen pajak sesuai dengan ketentuan yang berlaku dibagi dengan imbangan 70% (tujuh puluh persen) untuk Pemerintah Pusat dan 30% (tiga puluh persen) untuk Daerah.
Pasal 7
  1. Dana Alokasi Umum ditetapkan sekurang-kurangnya 25% (dua puluh lima persen) dari Penerimaan Dalam Negeri yang ditetapkan dalam APBN.
  2. Dana Alokasi Umum untuk Daerah Propinsi dan untuk Daerah Kabupaten/Kota ditetapkan masing-masing 10% (sepuluh persen) dan 90% (sembilan puluh persen) dari Dana Alokasi Umum sebagaimana yang ditetapkan pada ayat (1).
  3. Dalam hal terjadi perubahan kewenangan di antara Daerah Propinsi dan Daerah Kabupaten/Kota, persentase Dana Alokasi Umum untuk Daerah Propinsi dan Daerah Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disesuaikan dengan perubahan tersebut.
  4. Dana Alokasi Umum untuk suatu Daerah Propinsi tertentu ditetapkan berdasarkan perkalian jumlah Dana Alokasi Umum untuk seluruh Daerah Propinsi yang ditetapkan dalam APBN, dengan porsi Daerah Propinsi yang bersangkutan.
  5. Porsi Daerah Propinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) merupakan proporsi bobot Daerah Propinsi yang bersangkutan terhadap jumlah bobot semua Daerah Propinsi di seluruh Indonesia.
  6. Dana Alokasi Umum untuk suatu Daerah Kabupaten/Kota tertentu ditetapkan berdasarkan perkalian jumlah Dana Alokasi Umum untuk seluruh Daerah Kabupaten/Kota yang ditetapkan dalam APBN dengan porsi Daerah Kabupaten/Kota yang bersangkutan.
  7. Porsi Daerah Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (6) merupakan proporsi bobot Daerah Kabupaten/Kota yang bersangkutan terhadap jumlah bobot semua Daerah Kabupaten/Kota di seluruh Indonesia.
  8. Bobot Daerah ditetapkan berdasarkan :
    1. kebutuhan wilayah otonomi Daerah ;
    2. potensi ekonomi Daerah;
  9. Penghitungan dana alokasi umum berdasarkan rumus sebagaimana dimaksud pada ayat (4), ayat (5) ayat (6), ayat (7) dan ayat (8) dilakukan oleh Sekretariat Bidang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. 
Pasal 8
  1. Dana Alokasi Khusus dapat dialokasikan dari APBN kepada Daerah tertentu untuk membantu membiayai kebutuhan khusus, dengan memperhatikan tersedianya dana dalam APBN.
  2. Kebutuhan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1), adalah: 
    1. kebutuhan yang tidak dapat diperkirakan dengan menggunakan rumus alokasi umum; dan/atau
    2. kebutuhan yang merupakan komitmen atau prioritas nasional;
  3. Dana Alokasi Khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk yang berasal dari dana reboisasi.
  4. Dana reboisasi dibagi dengan imbangan :
    1. 40% (empat puluh persen) dibagikan kepada Daerah penghasil sebagai Dana Alokasi Khusus;
    2. 60% (enam puluh persen) untuk Pemerintah Pusat;
  5. Kecuali dalam rangka reboisasi, Daerah yang mendapat pembiayaan kebutuhan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menyediakan dana pendamping dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah sesuai dengan kemampuan Daerah yang bersangkutan.
Pasal 9
Besarnya jumlah Dana Perimbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) ditetapkan setiap tahun anggaran dalam APBN.
Pasal 10
Ketentuan lebih lanjut tentang tata cara penghitungan dan penyaluran atas bagian Daerah dari penerimaan Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6), dan rumus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (4), ayat (5), ayat (6), ayat (7) dan ayat (8), serta Dana Alokasi Khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Keempat
Pinjaman Daerah
Pasal 11
  1. Daerah dapat melakukan pinjaman dari sumber dalam negeri untuk membiayai sebagian anggarannya.
  2. Daerah melakukan pinjaman dari sumber luar negeri melalui Pemerintah Pusat.
  3. Daerah dapat melakukan pinjaman jangka panjang guna membiayai pembangunan prasarana yang merupakan aset Daerah dan dapat menghasilkan penerimaan untuk pembayaran kembali pinjaman, serta memberikan manfaat bagi pelayanan masyarakat.
  4. Daerah dapat melakukan pinjaman jangka pendek guna pengaturan arus kas dalam rangka pengelolaan kas Daerah.
Pasal 12
  1. Pinjaman Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dilakukan dengan persetujuan DPRD.
  2. Pinjaman Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan kemampuan Daerah untuk memenuhi kewajibannya.
  3. Agar setiap orang dapat mengetahuinya, setiap perjanjian pinjaman yang dilakukan oleh Daerah diumumkan dalam Lembaran Daerah.
Pasal 13
  1. Daerah dilarang melakukan Pinjaman Daerah yang menyebabkan terlampauinya batas jumlah Pinjaman Daerah yang ditetapkan.
  2. Daerah dilarang melakukan perjanjian yang bersifat penjaminan sehingga mengakibatkan beban atas keuangan Daerah. 
  3. Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), dikenakan sanksi sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 14
  1. Semua pembayaran yang menjadi kewajiban Daerah atas Pinjaman Daerah merupakan salah satu prioritas dalam pengeluaran APBD.
  2. Dalam hal Daerah tidak memenuhi kewajiban pembayaran atas Pinjaman Daerah dari Pemerintah Pusat, maka Pemerintah Pusat dapat memperhitungkan kewajiban tersebut dengan Dana Alokasi Umum kepada Daerah.
Pasal 15
Pelaksanaan Pinjaman Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13, dan Pasal 14 diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Kelima
Dana Darurat
Pasal 16
  1. Untuk keperluan mendesak kepada Daerah tertentu diberikan Dana Darurat yang berasal dari APBN.
  2. Prosedur dan tata cara penyaluran Dana Darurat sesuai dengan ketentuan yang berlaku bagi APBN.
BAB IV
PENGELOLAAN DAN PERTANGGUNGJAWABAN
KEUANGAN DALAM PELAKSANAAN
DEKONSENTRASI
Pasal 17
  1. Pembiayaan dalam rangka pelaksanan Dekonsentrasi disalurkan kepada Gubernur melalui Departemen/Lembaga Pemerintah Non Departemen yang bersangkutan.
  2. Pertanggungjawaban atas pembiayaan pelaksanaan Dekonsentrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan oleh Gubernur kepada Pemerintah Pusat melalui Departemen/Lembaga Pemerintah Non Departemen yang bersangkutan.
  3. Administrasi keuangan dalam pembiayaan pelaksanaan Dekonsentrasi dilakukan secara terpisah dari administrasi keuangan dalam pembiayaan pelaksanaan Desentralisasi.
  4. Penerimaan dan pengeluaran yang berkenaan dengan pelaksanaan Dekonsentrasi diadministrasikan dalam Anggaran Dekonsentrasi.
  5. Dalam hal terdapat sisa anggaran lebih dari penerimaan terhadap pengeluaran dana Dekonsentrasi, maka sisa anggaran lebih tersebut disetor ke Kas Negara.
  6. Pemeriksaan pembiayaan pelaksanaan Dekonsentrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh instansi pemeriksa keuangan Negara.
  7. Ketentuan lebih lanjut tentang pembiayaan pelaksanaan Dekonsentrasi diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB V
PENGELOLAAN DAN PERTANGGUNGJAWABAN
KEUANGAN DALAM PELAKSANAAN
TUGAS PEMBANTUAN
Pasal 18
  1. Pembiayaan dalam rangka pelaksanaan Tugas Pembantuan disalurkan kepada Daerah dan Desa melalui Departemen/Lembaga Pemerintah Non Departemen yang menugaskannya.
  2. Pertanggungjawaban atas pembiayaan pelaksanaan Tugas Pembantuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Daerah dan Desa kepada Pemerintah Pusat melalui Departemen/Lembaga Pemerintah Non Departemen yang menugaskannya.
  3. Administrasi keuangan dalam pembiayaan pelaksanaan Tugas Pembantuan dilakukan secara terpisah dari administrasi keuangan dalam pembiayaan pelaksanaan Desentralisasi.
  4. Penerimaan dan pengeluaran yang berkenaan dengan pelaksanaan Tugas Pembantuan diadministrasikan dalam Anggaran Tugas Pembantuan.
  5. Dalam hal terdapat sisa anggaran lebih dari penerimaan terhadap pengeluaran dana Tugas Pembantuan, maka sisa anggaran lebih tersebut disetor ke Kas Negara.
  6. Pemeriksaan pembiayaan pelaksanaan Tugas Pembantuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh instansi pemeriksa keuangan negara.
  7. Ketentuan lebih lanjut tentang pembiayaan pelaksanaan Tugas Pembantuan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB VI
PENGELOLAAN DAN PERTANGGUNGJAWABAN
KEUANGAN DALAM PELAKSANAAN
DESENTRALISASI 
Pasal 19
  1. Semua penerimaan dan pengeluaran dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi dicatat dan dikelola dalam APBD.
  2. Semua penerimaan dan pengeluaran Daerah yang tidak berkaitan dengan pelaksanaan Dekonsentrasi atau Tugas Pembantuan merupakan penerimaan dan pengeluaran dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi.
  3. APBD, Perubahan dan Perhitungan APBD ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
  4. APBD, Perubahan dan Perhitungan APBD merupakan Dokumen Daerah.
Pasal 20
  1. APBD ditetapkan dengan Peraturan Daerah paling lambat 1 (satu) bulan setelah APBN ditetapkan.
  2. Perubahan APBD ditetapkan dengan Peraturan Daerah selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan sebelum berakhir tahun anggaran.
  3. Perhitungan APBD ditetapkan paling lambat 3 (tiga) bulan setelah berakhirnya tahun anggaran yang bersangkutan.
Pasal 21
Anggaran Pengeluaran dalam APBD tidak boleh melebihi anggaran penerimaan.
Pasal 22
  1. Daerah dapat membentuk dana cadangan guna membiayai kebutuhan tertentu.
  2. Dana cadangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dicadangkan dari sumber penerimaan Daerah.
  3. Setiap pembentukan dana cadangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
  4. Semua sumber penerimaan dana cadangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan semua pengeluaran atas beban dana cadangan diadministrasikan dalam APBD.
Pasal 23
  1. Ketentuan tentang pokok-pokok pengelolaan keuangan Daerah diatur dengan Peraturan Daerah.
  2. Sistem dan prosedur pengelolaan keuangan Daerah diatur dengan Keputusan Kepala Daerah sesuai dengan Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Bagian Kedua
Laporan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah
Pasal 24
  1. Kepala Daerah menyampaikan laporan pertanggungjawaban kepada DPRD mengenai
    1. pengelolaan keuangan Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, Pasal 20, Pasal 21, dan Pasal 22;
    2. kinerja keuangan Daerah dari segi efisiensi dan efektivitas keuangan dalam pelaksanaan Desentralisasi.
  2. DPRD dalam sidang pleno terbuka menerima atau menolak dengan meminta untuk menyempurnakan laporan pertanggungjawaban sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
  3. Laporan pertanggungjawaban keuangan Daerah merupakan Dokumen Daerah.
Bagian Ketiga
Pemeriksaan Keuangan Daerah
Pasal 25
Pemeriksaan atas pelaksanaan, pengelolaan dan pertanggung-jawaban keuangan Daerah dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 26
Ketentuan tentang pokok-pokok pengelolaan dan pertanggung-jawaban keuangan Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23, dan Pasal 24 diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB VII
SISTEM INFORMASI KEUANGAN DAERAH
Pasal 27
  1. Pemerintah Pusat menyelenggarakan suatu sistem informasi keuangan Daerah.
  2. Informasi yang dimuat dalam sistem informasi keuangan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan data terbuka yang dapat diketahui masyarakat.
  3. Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan sistem informasi keuangan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan.
Pasal 28
  1. Daerah wajib menyampaikan informasi yang berkaitan dengan keuangan Daerah kepada Pemerintah Pusat termasuk Pinjaman Daerah.
  2. Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB VIII
SEKRETARIAT BIDANG PERIMBANGAN
KEUANGAN PUSAT DAN DAERAH
Pasal 29
  1. Sekretariat Bidang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah bertugas mempersiapkan rekomendasi Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah mengenai perimbangan keuangan Pusat dan Daerah serta hal-hal lain yang berkaitan dengan pengelolaan keuangan Daerah.
  2. Ketentuan lebih lanjut mengenai Sekretariat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Keputusan Presiden.
BAB IX
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 30
  1. Peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan keuangan Daerah sepanjang tidak bertentangan dan belum disesuaikan dengan Undang-undang ini masih tetap berlaku.
  2. Penyesuaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan selambat-lambatnya 2 (dua) tahun setelah Undang-undang ini diberlakukan.
Pasal 31
  1. Dalam APBN dapat dialokasikan dana untuk langsung membiayai urusan Desentralisasi selain dari sumber penerimaan Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3.
  2. Ketentuan pada ayat (1) hanya berlaku paling lama 2 (dua) tahun anggaran sejak diundangkannya Undang-undang ini.
  3. Pembiayaan langsung dari APBN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan dari ketentuan Pasal 19 ayat (1).
  4. Setiap tahun anggaran, menteri-menteri teknis terkait menyusun laporan semua proyek dan kegiatan yang diperinci menurut :
    1. sektor dan subsektor untuk belanja pembangunan.
    2. unit organisasi departemen/lembaga pemerintahan non departemen untuk pengeluaran rutin.
    3. Proyek dan kegiatan yang pelaksanaannya dikelola oleh Pemerintah Pusat, serta proyek dan kegiatan yang pelaksanaannya dikelola oleh Daerah untuk semua belanja.
  5. Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disampaikan kepada DPR.
BAB X
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 32
Dengan berlakunya Undang-undang ini, Undang-undang Nomor 32 Tahun 1956 tentang Perimbangan Keuangan Antara Negara dan Daerah-daerah, Yang Berhak Mengurus Rumah Tangganya Sendiri (Lembaran Negara Tahun 1956 Nomor 77, Tambahan Lembaran Negara Nomor 1442) dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 33
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta
Pada tanggal 19 Mei 1999

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
ttd
BACHARUDIN JUSUF HABIBIE

Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 19 Mei 1999

MENTERI NEGARA SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,
ttd
PROF. DR. MULADI, S.H.
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1999 NOMOR 60